Dokumen : Diambil dari buku Literature oleh Holt McDougal (2010)
Absurditas Puisi yang Bagus
Oleh
Mustajib
Alhamdulillah, di WhatsApp Group (WAG) ‘Rumah
Virus Literasi’ (RVL), hampir setiap hari tergelar (terekspos) puisi-puisi karya
sebagian besar anggota WAG. Gelaran puisi-puisi tersebut umumnya langsung
mendapat apresiasi dari sesama anggota WAG RVL, tentu karena dianggap “bagus” dan/atau
“indah”.
Apresiasi tersebut ada yang berupa simbol dan ada yang
berbentuk “written-verbal”. Yang berupa simbol umumnya mewujud dalam
bentuk “jempol” (👍) : 1 Jempol
(👍), 2 ‘ruas’
jempol 👍 👍),
dan – kalau tidak salah ingat – ada 3 ‘siung’ jempol (👍
👍 👍). Yang berupa “witten-verbal”
(tulisan yang mewakili bahasa lisan) tampil dengan kata-kata “keren”, “mantap”,
“super”, “jos” dan sejenisnya.
Tidak jarang apresiasi yang diberikan berupa kombinasi
keduanya : “witten-verbal” plus simbol, semisal “muantaap 👍 👍 👍)”. Variasi
lain dari apresiasi berbentuk “written-verbal” adalah tidak sekadar “satu
kata” seperti “keren”, “mantap”, “super”, “jos” dan sejenisnya.
Melainkan, perwujudannya dalam bentuk beberapa kata.
Salah satu contoh apresiasi “written-verbal” multi
kata seperti itu disampaikan oleh Ibu Daswatia ketika mengapresiasi, maaf (hanya
untuk ilustrasi dan/atau objektivitas data), puisi berjudul “Memeluk Ramadan” karya
Ibu Arina Diana (WAG RVL, Jumat, 12/04/2024). Bu Daswatia menulis, “Ibu ini
emang ahli memilih diksi. Kata2 nya indah nian. Semakin terasa kasarnya jiwa
saya, kok puisi ini tdk menggetarkan kalbu saya. Ada yang salah pada diri saya ini. Puisi yg org kata
indah kok keindahannya tdk saya rasa. Saya kok hanya merasa padanan2 diksi2
indah”.
Tulisan ini
tidak bermaksud untuk menghadirkan pembelaan bahwa puisi “Memeluk Ramadan” layak
dikatakan ‘indah’ dan karenanya “bagus”. Atau, tulisan ini coba menggugat
penilaian Ibu Daswatia. Tulisan ini hanya me-recall (menyitir kembali)
basis-basis atau alasan-alasan yang dipakai seorang pembaca atau penikmat puisi
untuk menilai apakah hidangan puisi yang dinikmatinya ‘bagus’ dan/atau ‘indah’.
Sitiran tersebut mulai dari yang sangat ‘trivial’ (sepele, umum) sampai
dengan yang ekstrim.
Penilainan yang trivial itu, meneurut hemat saya,
adalah yang bersifat teoritis, yang notabene bersifat normatif, dan – sekali lagi,
menurut saya -- terkesan lip-service, basa-basi, bersifat administratif.
Atau, suatu penilian yang tidak Genuine, tidak asli, atau tidak menyembul
dari hati sang penikmat. Bukankah makna – termasuk kenikmatan, keindahan,
kebagusan – puisi itu tergantung pada (wawasan, persepsi) pembaca, dan
karenanya mutlak menjadi sukyektif?
Secara teoritis, ciri-ciri puisi yang baik secara umum,
sebagaimana yang kita mafhum bersama, adalah puisi yang “clear” (jelas)
unsur “what to say-nya” (berupa tanggapan serta pendapat penyair
mengenai berbagai hal) dan baik unsur “how to say-nya”, yakni dituangkan
dengan menggunakan bahasa yang apik serta memiliki struktur batin dan fisik
khas penyairnya (lihat ‘simpulan pengertian puisi oleh Rahma Fiska dalam “Pengertian
Puisi : Jenis - Jenis, Unsur, Cara Membuat Puisi, dan Lengkap dengan Contoh
Puisi” dalam gramedia.com, diakses Sabtu, 13/0/4024, pukul 10.52 Waktu
Arab Saudi/WAS ).
Adakah standar baku “menggunakan bahasa yang apik” dan “memiliki
struktur fisik khas (sang) penyairnya? Sepertinya kita sepakat “Tidak ada!”.
Karena ketiadaan standar baku itulah maka penilaian terdap bagus dan/atau
indahnya sebuah puisi bersifat subjektif, tergantung pada masing-masing pembaca
atau penikmat puisi. Karenanya, kriteria-kriteria penilaian puisi yang bagus (?)
oleh Ibu Daswatia sah-sah saja. Demikian juga basis-basis penilaian yang dimunculkan
(secara implisit) oleh penyair kaliber dunia seperti Emily Dickinson, yang
terasa ekstrim, pun juga sah-sah saja.
Ibu Daswatia, berpandangan bahwa puisi yang bagus atau
indah adalah puisi yang sesujatinya dapat “menggetarkan kalbu”-nya.
Anasir-anasir puisi yang dapat menggetarkan hatinya ya hanya Bu Daswita yang
tahu dan/atau dapat merasakannya. Pendapat Bu Daswatia ini mungkin sudah masuk
kategori “menengah”, beberapa derajat diatas ‘penilaian yang bersifat lip-service
atau teoritis’.
Penilaian yang “sedikit” di atas penilaian oleh Bu Daswatia adalah penilaian yang diberikan oleh Emily Dickinson. Penyair yang
meninggal tahun 1886 setelah sempat menghirup udara kehidupan selama 56 tahun
ini mengatakan, “Jika aku membaca seubah tulisan (‘karya’, penulis) dan karya
itu membuat sekujur tubuhku menggigil kedinginan hingga tak ada api yang dapat
menghangatkannya maka aku menganggap ‘karya’ tersebut sebagai sebuah puisi
(yang baik)” (dalam Mustajib, 1994, 2010). Jadi kriterianya, matra-matra puisi
mampu membuat tubuh menggigil yang tak dapat dihangatkan oleh api sekalipun.
Indikator penilaian yang lebih ektrim terhadap puisi
yang bagus juga disampaikan oleh penyair relgius-Kristiani Emily Dickinson,
sebagaimana terbaca melalui narasinya, “Jika kepalaku secara psikis terasa
terpenggal ketika membaca suatu tulisan (karya), aku pun menyebutnya sebagai
sebuah puisi (yang baik)”.
Seperti apakah puisi yang dapat menggetarkan hati,
membuat tubuh menggigil kedinginan yang tak mampu dihangatkan oleh api, dan
membuat kepala terasa seperti terpenggal? Hanya masing-masing penikmat puisi
itulah yang tahu dan dapat merasakannya.
Itulah absurditas, atau relativitas, puisi yang bagus
dan indah! Yang jelas, kebagusan dan/atau keindahan sebuah puisi pasti eksis
diantara dua ekstrim (titik : 1 - 100) garis kontinum. Dus, kita tidak boleh
berhenti berupaya menciptakan puisi-puisi yang bagus dan/atau indah.
Riyadh, 13
April 2024
Diplomatic
Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi.
Pukul : 11.39 WAS
Saya suka sekali dengan tiap diksi kalimat dan penjabarannya. Salam hormat saya
BalasHapusSiap, terima kasih, Bu Ema. Salam sehat dan sukses selalu.
HapusSubhanallah! Tulisan luar biasa! Sungguh informatif, mtr nuwun!
BalasHapusMatur nuwun, Bu Mimin. Salam sehat dan sukses selalu.
HapusSatu analisis yang menawan dari seorang budayawan yang dermawan berbagi ulasan.
BalasHapusMatur sembah nuwun, Bunda. Selalu menginspirasi. Semoga "project" kita lancar jaya, ya. Salam sehat dan sukses selalu.
HapusJadi manggut-manggut sendiri saat membaca ulasan tentang penilaian puisi...
BalasHapusMatur nuwun...
Terima kasih atas silaturrahminya, Bu Sri. Salam sehat dan sukses selalu.
Hapus