“Haramkah” Nilai 100 di Ulangan Mengarang?


                                                            Dokumen Pribadi

“Haramkah” Nilai 100 di Ulangan Mengarang?
Oleh
Mustajib

 

‘Haramkah’, atau tabukah, seorang guru mata pelajaran (mapel) Bahasa Indonesia memberi nilai angka 100, nilai sempurna, pada hasil ulangan (asesmen) ‘mengarang”? Pertanyaan ini mengingatkan saya pada dua sosok guru : guru saya zaman old dan rekan guru saya zaman now.

Dulu, zaman old, di tahun 1986 sampai dengan 1988, saat masih bersekolah di sekolah menengah atas (SMA) Negeri 2 Praya, saya punya guru Bahasa Indonesia yang mengajar saya dari kelas 1 sampai kelas 3 berinisial “K”. Bahkan menjadi wali kelas di kelas 2 dan kelas 3. Di suatu kesempatan, Beliau pernah bercerita kepada kami, bahwa – kalau tidak keliru dengar -- saat Beliau masih kuliah, ada seorang dosennya yang “mengharamkan” memberikan nilai 4 (dengan rentang nilai 1 sampai 4), atau nilai sempurna, pada mata kuliah bahasa Indonesia yang diampunya. Alasannya, walaupun nilai rata-rata tugas, ujian dan performans tergolong sempurna, masih banyak hal yang belum diketahui, dikuasai dan/atau bahkan belum bisa dipraktikkan terkait dengan bahasa Indonesia atau sub-sub turunannya.

‘Prinsip’ itu sepertinya sedikit dilanggengkan. Ketika, rasa-rasanya, nilai rata-rata tugas, ulangan dan performans memungkinkan untuk mencapai nilai sempurna atau ‘baik sekali”, saya hanya diberi angka 80 di rapor. “Itu nilai tertinggi yang saya bisa Pak Guru berikan, Jib,” katanya kepada saya, di suatu hari. “Itu sudah senilai dengan angka sembilan atau sempurna,’ imbuhnya.

Memberikan nilai ulangan 100 dalam mapel pelajaran Bahasa Indonesia sesungguhnya bukanlah hal yang mustahil. Hal tersebut terutama jika soal-soalnya merupakan soal-soal objektif seperti pilhan ganda (multiple choice), menjodohkan (matching), atau melengkapi rumpang (titik-titik) dengan kata-kata yang telah disediakan. Namun untuk soal-soal subjektif serupa essai, tulisan bebas, atau mengarang, diperlukan “keberanian” dan/atau prinsip yang kuat dan jelas untuk melakukannya. Apakah mungkin seubuah essai, tulisan bebas, atau karangan, terutama yang ditulis oleh para siswa pada umumnya dan anak-anak sekolah dasar (SD) pada khususnya terbebas sama sekali dari kesalahan berbahasa?

Guru-guru bahasa Indonesia zaman old (lampau), terutama yang memegang teguh prinsip “klasik” yang rigid (untuk tidak mengatakan ‘kolot-kaku’) yang berpendirian tidak akan pernah ada karangan, esai atau tulisan bebas yang sama sekali terbebas dari kesalahan dan/atau kekurangsempurnaan, sehingga tidak layak mendapat nilai sempurna 100, bisa dipastikan tidak akan berani memberikan nilai 100. Namun, ini bukan berarti guru-guru bahasa Indonesia masa kini (zaman now) dijamin pasti berani melakukan itu. Itu sangat tergantung pada paradigma dan/atau prinsipnya.

Saya pribadi berpendapat bahwa memberikan nilai 100 bukanlah sesuatu yang “haram” atau tidak boleh dilakukan. Kalau patokannya kesempurnaan atau terbebas sama sekali dari kesalahan dan/atau kekurangan, kita tidak akan menemukan itu. Karena kesempurnaan total (hakiki) itu hanya milik Allah azza wajjala, Sang Pencipta (Khaliq) sejati :  Tuhan Yang Maha Sempurna. Manusia, apalagi siswa, yang ‘menciptakan’ atau ‘membuat’ sesuatu bisa dipastikan ada kesalahan, kekurangan dan/atau ketidaksempurnaan itu. Karena manusia, sebagai hamba ciptaan (makhluk) adalah sumber dari segala kekurangan atau ketidaksempurnaan.

Dalam konteks karangan, esai atau tulisan bebas yang dihasilkan siswa pada umumnya dan, apalgi siswa-siswi SD pada khususnya, pasti akan ada kekurangan dan atau kesalahan itu. Kesalahan atau kekurangsempurnaan itu, mungkin, berupa kesalahan pemberian huruf kapital, penggunaan diksi atau kosakata yang kurang pas, penulisan awal kamilat yang salah menurut tata bahasanya, penyusunan kalimat yang kurang mememnuhu unsur-unsur pola ‘SPOK’ (subjek, predikat, objek, keterangan), pengaturan kalimat-kalimat menjadi paragraf yang baik dan kesalahan-kesalahan lainnya.

Namun jika prinsip atau patokannya jelas, memberikan nilai 100 pada hasil ulangan atau asesmen mengarang siswa, sekalipun siswa SD, bukanlah hal yang tabu. Prinsip atau patokan yang dimaksud adalah indikator-indikator capain yang selain jelas, juga terukur (measurable). Sepertinya, prinsip inilah yang dipegang teguh oleh Pak Hijrah Baihaqie, salah seorang guru bahasa Indonesia di Sekolah Indonesia Riyadh (SIR). Guru Mapel Bahasa Indonesia, yang juga mengampu program BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) dan menguasai paling tidak tiga bahasa asing (Arab, Jerman, dan Inggris) dengan baik, ini memberi nilai 100 kepada lebih dari tiga orang siswa kelas VI SD untuk mata tes mengarang dalah bahasa Indonesa pada perhelatan Asesmen Sumatif Tengah Semester (ASTS) pertengahan Maret 2024 lalu. Salah seorang dari siswa tersebut adalah Muhammad Sukri Rizky Ramadhan.

Di lembar jawaban, selain mendapat nilai 100, Rizky – sapaan akrabnya – juga mendapat catatan atas kualitas karangannya ‘Imajinatif’. Seperti apakah soal mengarang yang diberikan dan hasil karangan Rizky? Untuk soal, bisa dilihat foto di awal tulisan ini. Siswa diberikan ilustrai atau gambar. Siswa diminta mengamati gambar dan membaca secara teliti serta memahami pertanyaan atau instruksi pengerjaan soal. Setelah membaca pertanyaan dengan teliti, memahaminya  dengan baik, serta meneliti gambar(-gambar) yang diberikan, para siswa diminta “membuat karangan deskriptif atau naratif minimal 100 kata”.

Seperti apakah produk karangan Rizky? Berikut hasil karangannya, asli tulisan tangan.

Jika karangan hasil tulisan tangannya agak kurang jelas, berikut ini saya tampilkan versi ‘word-nya”.

 _____________________________________________________________

Ali Dan Anak Macan

Oleh: Muhammad Sukri Rizky Ramadhan

Di suatu siang, Ada anak bernama Ali, Dia hidup sendiri di pinggiran desa. Walau begitu, Ia bisa mencari makanan dan uang secara mandiri, Siang tersebut, Ali menemukan dua ekor Macan. Induknya dan anaknya, Ali menatap anak macan tersebut. Ia merasa anak itu sedang lapar, Tetapi ibunya habis berjelajah mencarikan makanan. Berhubung Ali bisa berkomunikasi dengan hewan, Ia mencoba untuk berbicara dengan induknya. “Wahai ibu Macan, Bolehkah saya meminjam anak ibu sebentar? Saya punya banyak susu dan makanan untuknya” kata Ali, Siapa sangka, Ibu macan pun mengangguk dan berterima kasih kepada Ali, “Oh anak kecil yang baik, Silakan, Akupun senang menerima bantuanmu” Ucap Ibu Macan. Seperti yang diucap Ali tadi, Ia pun menggendong Anak Macan tersebut ke rumahnya, Ia dengan cepat-cepat memberi semangkuk susu dan semangkuk makanan hewan. Anak Macan tersebut pun dengan lahap memakan pemberian Ali, Ali pun juga membuat makanan untuk dirinya sendiri, Sepiring nasi dan tempe kecap, Selesai mereka makan, Ali mengajak Anak Macan untuk bermain bersama, Ali mengeluarkan bola sirkus untuk si Anak Macan. Anak Macan girang sekali, Waktu yang dihabiskan bersama ali merupakan bagian terbaik di hidup Anak Macan itu, Waktu pun juga tidak iri kepada mereka, Mereka kian bermain segala macam permainan. Akhirnya Ibu Macan pun menengok anaknya. “Yah… apakah dia akan pulang?” Pikir Ali, Namun Ibu Macan sepertinya ingin bermain bersama, Kelincahan dan pengalaman Ibu Macan saat menjadi “Macan Sirkus” membuat Ali dan anaknya terkagum-kagum. Dia melompat melewati ring dan bola sirkus, Ibu Macan sangat ahli. Akhirnya mereka beristirahat sambil meminum susu. Ibu Macan berkata “Terima-kasih anak yang baik. Semoga Allah SWT membalas perbuatan baikmu, Namun sayang, Kita harus pulang ke rumah secepat mungkin, Besok kita akan menjengukmu lagi” “Baik bu Macan, Saya juga senang merawat anak anda”.

_____________________________________________________________

 

Dengan membaca kalimat pertama saja dari karangan di atas, sudah tampak jelas ketidaksempurnaanya. Ada kesalahan penggunaan huruf besar (kapital) seperti pada kata-kata “Ada”, “Dia’ dan “Ia”. Di Baris kedua, ada kesalahan penggunaan tanda baca (punctuation) ‘koma’ (,) setelah frase ‘secara mandiri’ yang seharusnya tanda baca ‘titik’ (full stop / ’ . ’). Pada baris ke-10, pemakaian kata ‘memakan’ kurang spesifik atau kurang menunjukkan presisi karena – kalau kita cermati konteksnya – mengacu pada frase ‘pemberian Ali’ yang merujuk pada “semangkuk susu” dan “semangkuk makanan hewan”. Sudah tepat jika kata ‘memakan’ merujuk pada ‘semangkuk makanan hewan’ tapi tidak tepat untuk frase ‘semangkuk susu’, yang seharusnya lebih cocok memakai “meminum”. Jika merujuk kepada kedua-duanya (semangkuk susu dan semangkuk makanan hewan) akan lebih tepat menggunakan diksi atau kosakata ‘menikmati’ atau ‘menyantap’ sehingga menjadi ‘menikmati atau menyantap pemberian Ali’. Dan kekurangsempurnaan yang paling mencolok adalah teksnya numplek alias terhimpun dalam sebuah “paragraf besar”. Kalau dicermati kronologi pergerakan setiap scene, setiap bagian, paragraf jumbo tersebut masih bisa disusun (ulang) menjadi beberapa paragraf (yang lebih kecil, spesifi).

Diluar keterbatasan-keterbatasan di atas, dengan merujuk hasil karya (karangan) tersebut, kita sudah bisa menilai ketercapaian jumlah kosakata minimum, ketercapaian pilihan jenis teks pengungkapan (dominan, narasi/naratif) dan kelancaran pengungkapan. Perihal ‘kesegaran imajinasi’ sebagaimana yang menjadi catatan ‘reward (penghargaan)’ guru, silahkan pembaca membaca dan menilainya sendiri.

Sebagai catatan akhir,  ‘keberanian’ Pak Hijrah Baihaqie memberikan nilai 100 untuk ulangan mengarang dan juga memberikan cacatan ‘imajinatif’, sangat layak diapresiasi karena sangat sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi. Bahwa tidak hanya untuk mengumpulkan informasi-informasi terkait (kompetensi) siswa, evaluasi juga untuk memberikan efek ‘positive washback’ sebuah test. Bahwa tes tersebut (dan hasilnya) bisa memberikan motivasi bagi sang pembelajar (peserta didik) untuk lebih baik lagi, atau setidak-tidaknya mempertahankan capaian baik yang telah diperolehnya. Semoga kita sepaham.

 

Riyadh, 26 Maret 2024
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi.
Pukul : 16.16 Waktu Arab Saudi / WAS

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama