Oleh
Mustajib
Di suatu bincang-bincang keluarga, tiba-tiba muncul
pertanyaan dari salah seorang anak saya, “Pak, kalau kita sudah balik pulang ke
Lombok, kita ikuti Islam yang mana?”
Pertanyaan tersebut cukup menyentak. Sangat menyentak,
karena pertanyaan tersebut muncul saat kami sharing beberapa hal setelah
selesai masa dinas di Riyadh. Apakah
akan tinggal di kota lagi, atau menetap di desa? Apakah melanjutkan
lapak kelonthong di pasar atau buka usaha lain? Apakah lebih baik bertani daripada (mencari) honor
tambahan? Dan lain sebagainya. Tidak di-setting bicara tentang agama.
Agak
gelagapan juga saya mendapat pertanyaan tersebut. Disamping karena pengetahuan
agama yang super-super tipis, juga karena saya harus segera ada jawaban.Akhirnya,
saya memberi jawaban. Jawaban yang saya utarakan pun sesuai yang
berkelebat dalam tempurung otak saya. Pola ini sering saya lakukan karena saya
percaya hati saya sepenuhnya dikendalikan oleh Yang Maha Kuasa.
“Ya, dimana
bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” jawab saya. Menyedari jawaban ini
sangat beresiko jika tidak ada penjelasan lebih lanjut maka saya buru-buru
memberi keterangan tambahan. “Ya, kita kembali ke asal. Ke keyakinan
yang kita jalankan sebelumnya.”
Saya konfirmasikan bahwa selama di daerah asal kami menlaksanakan
mazhab Syafi’I, yang – katanya -- coba menggabungkan antara lain mazhab Hambali
(yang tekstual atau sesuai teks) dan berbasis logika ala Hanafi. Saya hanya
mengutarakan kembali hal ini dari apa yang saya pernah saya dengar dari seorang
sahabat yang pernah fokus studi pada ajaran antarmazhab.
Perbedaan yang saya lihat mencolok dari kebiasan
menjalankan ibadah sholat di rumah, bagi anak-anak perempuan dan istri saya saat
di Arab Saudi -- khususnya di Riyadh dengan penduduknya yang sangat heterogen -- adalah, tidak selalu pakai mukena saat sholat. Ketika di Lombok, khususnya
di desa dan kampung halaman kami, mengenakan mukena bagi kaum perempuan sepertinya
“wajib” supaya rambut tidak terlihat secara total dan bahkan sebagian yang di atas
jidad, tidak tampak telapak tangan, dan apalagi kedua telapak kaki. Semua harus
tertutup.
Hal semacam itu tidak sepenuhnya terjadi ketika di Arab
Saudi. Dengan berpakaian biasa, sopan, lalu ditutup abaya gombrong dan tutup
kepala (jilbab) sudah cukup. Sholat di mana pun, ya, seperti ini. Mukena hanya
dipakai khususnya saat sholat tarawih bersama jamaah-jamaah perempuan dari
Indonesia atau saat melaksanakan sholat Idul fitri atau Idul Adha bersama
jamaah sesama Indonesia.
Perbedaan lain yang saya – mungkin juga oleh anak-anak
dan istri saya -- temukan adalah posisi tangan saat berdiri setelah takbiratul
ikhram dan setelah berdiri tegak kembali dari sujud setelah duduk di antara dua
sujud. Ada yang tangannya disedekapkan dan ada yang dibiarkan ‘menggantung’ ke
bawah seperti posisi ‘bersiap’ dengan kedua telapak tangan tanpa dikepal.
Alhamdulillah, dengan jawaban dan sedikit penjelasan
seperti itu, saya tidak mendapat protes atau komentar. Tidak ada yang mendebat
saya. Mungkin dia (yang bertanya) menerima jawaban dan penjelasan saya. Dengan penerimaan itu, untuk sementara,
saya berpura-pura sudah ‘aman’, tenang, atau tidak merasa ada masalah lagi di
permukaan.
Namun nun jauh
di dalam sanubari, saya masih memikirkan kembali frase respon saya “di mana
bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Dalam praktik keberagamaan, hal ini
bisa memunculkan “sub-keyakinan yang tidak kokoh, tidak teguh, tidak fixed.
Fleksibel atau dinamis". Dampak keyakinan atau pendirian yang ‘toleran-menyesuaikan’
ini, dalam jangka panjang, akan menimbulkan problem tersendiri. Yang saya bayangkan,
akan ada konflik internal pada diri anak jika, misalnya, setiap dua atau tiga
tahun berpindah dari satu negara ke negara lain dimana di negara-negara
tersebut sang anak melihat keragaman pelaksanaan keberagamaan.
Melihat keberagaman tersebut, bisa dipastikan, sewaktu-waktu akan timbul pertanyaan dalam benak si anak, “Islam yang mana yang harus saya Ikuti?” Terkecuali jika, basis keberagamaan sang anak sudah kuat. Namun, bagaimana memberikan fondasi yang kokoh kuat kepada anak yang notabene masih fragile (rapuh) secara fisik dan psikis? Ini masalah ikutan (inherent) lainnya.
Semoga ada
pembaca yang berkenan meluruskan jawaban dan menambah penjelasan saya jika masih kurang pas.
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi
Pukul :08.18 Waktu Arab Saudi/WAS