Dok. Koleksi Tripadvisor
Makan di Restaurant di Saudi
Oleh
Mustajib
Setiap orang
punya kesukaan atau preferensi masing-masing, baik secara umum maupun secara
masing-masing individu.
Tak bisa
dipungkiri bahwa salah satu alasan yang membuat orang, khususnya kaum muslim
atau pemeluk Islam, senang tinggal di Arab Saudi adalah karena dekat dengan
Haramain (Dua Kota Suci), yakni Kota Makkah
dan Kota Madinah. Di Makkah ada Baitullah (Ka'bah) di tengah-tengah Masjidil
Haram. Di Madinah ada Masjid Nabawi tempat makam Nabiyullah, Rasul Muhammad
SAW.
Bagi saya
pribadi dan keluarga, selain alasan di atas, ada alasan khusus lain yang
mungkin membuat kami “betah” tinggal di Arab Saudi. Alasan yang dimaksud adalah
dengan tinggal lebih lama di Arab Saudi, kami dapat terus menambah
"koleksi" status seringnya makan di restaurant (restoran).
Dengan
penambahan koleksi tersebut, di satu sisi, kami mungkin merasa bahagia. Tapi di
sisi lain, saya sedikit cemas. Cemas karena khawatir ada komplain halus dari
keluarga besar kami di Lombok Tengah, NTB, Indonesia, khususnya kakak-kakak
kami yang sangat peduli dengan kehidupan dan masa depan kami. Komplain yang dikhawatirkan
adalah "Tolong ingat masa depan. Berhematlah. Jangan sering-sering
makan di restoran".
Citra atau image
makan di restoran di Indonesia memang secara tersirat tergambar seperti
komplain imajinatif di atas. Berbiaya tinggi. Harus merogoh kantong atau
kocek yang dalam. Entah citraan seperti itu benar atau tidak, yang jelas, itulah
salah satu alasan pokok yang membuat kami sekelurga sering merasa
"ketakutan" untuk makan di restoran. Dan karena sangat-sangat-sangat
jarang masuk restoran, maka tidak banyak hal yang saya ketahui.
Yang saya ketahui dan rasakan, di Indinesia, pada
umumnya dan di desa atau kampung halaman saya pada khususnya -- sependek
pengetahuan saya -- restoran memiliki ‘status sosial’ tertinggi, elitis,
"ningrat" dalam jajaran 'kaum' (industri) penyedia makanan dan
minuman (industry food and beverage). Keberadaan formal
restaurant, informal restaurants dan/atau jenis Fine Dining
Restaurants membentuk image bahwa restoran itu bukan tempat
pemesanan makanan dan minuman yang biasa-biasa saja. Selalu ada ekslusivitas
(kemewahan) dari sisi menu makanan, meja-kursi tempat menikmati makanan, penyajian,
dan pelayanan dalam bungkus komersil dan profesional.
Di bawah ‘status’
restoran, ada lesehan. Di bawah lesehan, bertengger rumah makan. Dan di
bawah rumah makan, dengan segala kesederhanaan, turut hadir warung pojok.
Harus diakui, keberadaan "gerai-gerai penyedia
makanan dan minuman" di atas memilki image sosial yang berbeda, sekalipun
sama-sama termasuk industri tata boga (penyedia makanan dan minuman). Kesan
yang timbul di benak masayarakat antara warung pojok dengan restorang sangat
jauh njoplang berbeda, baik dari sisi makanan, kebersihan (sanitasi)
maupun pelayanan.
Warung pojok sangat lekat dengan citra makanan kualitas ndeso.
Harga sangat-sangat merakyat, bersahaja, really affordable (sangat
terjangkau) bagi warga masyarakat umum sekalipun mungkin berpenghasilan 15
sampai dengan 20 ribu per hari. Selain kesederhanaan makanan, sanitasinya juga
ala kadar. Tidak jarang, piring-piring penyajian dicuci pada bak penampungan air
yang sama. Dicelupkan di situ dan lalu dibersihkan dengan kain lap. Kain lap
pun biasanya itu-itu juga. Kalau air bak pekat, barulah air bak diganti. Saya
tidak tahu persis, apakah kain lapnya juga diganti?
Di Rumah Makan, citra kurang peduli pada kebersihan
seperti itu sepertinya tidak terjadi. Saya penah dapat informasi bahwa di salah
satu rumah makan terkenal di daerah kelahiran saya, piring dan sendok yang baru
selesai dipakai dalam sajian makanan dicuci di air keran yang mengalir. Di
sekelilingnya tidak akan ada tebaran sampah-sampah atau genangan-genangan air
yang mengurangi selera makan.
Rumah Makan identik dengan keterbatasan space
atau ruangan. Biasanya rumah makan menempati satu ruangan yang agak luas.
Terbatasnya space ini tidak berlaku di lesehan. Umumnya lesehan memiliki
lahan yang jembar (luas). Selain dengan makanan, minuman dan primanya layanan,
para pengunjung akan dimanjakan dengan pemandangan alam terbuka.
Restoran memang tidak seluas lesehan. Kadang-kadang
restauran hanya memiliki satu atau dua ruangan. Yang membedakannya adalah
penampilan yang modern, pelayanan yang prima dan pengelolaan yang profesional
dan komersial. Harganya sudah pasti relatif mahal dibandingkan dengan ketiga
"adik-adiknya" (rumah makan, lesehan, dan warung pojok). Tingginya cost
ini antara lain disebabkan oleh pembayaran pajak dan pengeloaan manajemen yang tidak
sekelas dengan kelas yang diberlakukan kepada ketiga adiknya itu.
Makan di restoran-restoran yang ada di Arab Saudi tidak selalu identik dengan ‘dana’ tinggi. Yang mahal jelas banyak sesuai menu, penyajian, pelayanan, lokasi, dan eklsusivitas-ekslusivitas lainnya. Namun, kita (kami sekeluarga) juga bisa mendapatkan restoran dengan harga makanan plus air mineral seharga 50 riyals untuk ukuran satu keluarga beranggota empat atau lima orang. Bahkan ada yang dibawah itu. Inilah yang sering kami kunjungi.
Jadi kenapa kami sekeluarga sering makan di restoran, ya, karena, faktanyan, semua
gerai penyedia makanan dan minuman, mulai dari jenis etnis, fast food, fast casual, casual dining, family style sampai dengan fine dining, mulai dari 'desa' (unit komunitas di pinggiran
kota) sampai dengan kota besar menggunakan label yang sama, semua – umumnya –
menggunakan nama “restaurant”. Bukan soal cari sensasi walau harga mahal. Jadi, kami sering makan di restoran karena kami tidak menemukan strata nama
selevel warung pojok, rumah makan, dan lesehan. Semua bernama "restaurants".
Selain
keseragaman penggunaan nama “restaurant/restoran”, ada standarisasi di
restoran-restoran di Saudi Arabia. Standarisasi tersebut adalah standarisasi
kebersihan atau sanitasi. Juga standarisasi kesehatan. Kualitas dan kebersihan
makanan dan minuman, keamananan tempat penyimpanan, serta kebersihan lingkungan
restoran menjadi perhatian utama pemerintah Arab Saudi melalui Otoritas Makanan
dan Obat-obatan Arab Saudi/SFDA ). Standarisasi ini dikawal ketat oleh
baladiyah (pemerintah kota).
Berdasarkan
informasi yang pernah saya dengar, pihak baladiyah tidak tanggung-tanggung
memberikan sanksi atas pelanggaran dan/atau pengabaian terhadap aturan ini. Konsekuensinya,
saya atau kami sekeluarga, juga customers lainnya merasa sangat nyaman
dan aman memesan dan menyantap makanan dan minuman di rstoran-restoran Saudi,
khususnya yang disantap langsung di restoran (Dining-in). Tidak ada
pemandangan-pemandangan yang mengurangi selera makan.
Mungkin, penetapan
dan pelaksanaan terhadap standarisasi seperti itu, terutama kesehatan dan
kebersihan, sudah terlaksana dengan baik oleh gerai-gerai penyedia makanan dan
minuman di seantero Tanah Air Indonesia. Hanya karena saya atau kami sekeluarga
sangat jarang makan di warung pojok, rumah makan, lesehan dan apalagi di restoran
maka saya tidak tahu persis pekembangan dan/atau keberadaannya dalam beberapa
tahun terakhir. Jika sudah, alhamdulillah.
Riyadh, 22 Maret 2024
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi
Pukul : 13.33 Waktu Arab Saudi/WAS