Melacak Nilai Religiositas Puisi-puisi Akrostik Siswa SIR

                                                     

                                                           Dok. Wikipedia


Melacak Nilai Religiositas Puisi-puisi Akrostik Siswa SIR

Oleh

Mustajib


Tulisan sederhana ini coba melacak nilai-nilai religiositas (relijiusiitas) yang terdapat pada puisi-puisi akrostik siswa-siswi Sekolah Indonesia Riyadh (SIR).

Pada 8 Agustus 2023 lalu, Bu Rahmi Rahim, S.Pd. menjapri (mengirim ke WhatsApp) saya 17 puisi akrostik karya siswa-siswi binaannya, yaitu siswa-siswi kelas V.B, sebagai bagian tak terpisahkan dari ikhtiar tiada henti untuk menumbuhkembangkan kompetensi literasa baca-tulis di SIR pada umumnya, dan kelas V.B pada khususnya. Tujuh dari ketujuhbelas puisi merupakan hasil karya “calon-calon” penyair perempuan, yaitu Alya, Alyssa, Afrah, Falisha Shafiya Z, Karina, Kasyfa, Nabila, dan Zalfa.  Sembilan puisi lainnya adalah hasil karya calon-calon penyair laki-laki seperti Yahya, Ousman Abdul Cadar, Kiran, Hussain, Fathan, Faris, Darin (tidak masuk sebagai puisi akrostik), Azriel Azzamy, dan Abdullah. Sementara satu karya tidak dapat diidentifikasi jenis kelamin penciptanya : “Sabrkamhbm”.

Dari 17 karya, 14 karya yang memiliki judul. Sisanya (3 puisi) tanpa judul. Judul puisi umumnya menggunakan nama penciptanya dengan dua kecenderungan. Yang namanya satu ‘kata’, nama itulah yang langsung dipakai sebagai judul. Jika nama penciptanya terdiri dari dua kata atau lebih, nama pertamalah yang dipakai sebagai judul puisi. Pertanyaannya, kenapa fenomena penjudulan itu diambil dari nama penyair alias penulis puisinya? Apakah ini ada kaitannya dengan ‘genre’ puisi akrostik tersebut?

Amirul Nisa, dalam tulisannya yang berjudul “Materi Bahasa Indonesia, Apa yang Dimaksud dengan Puisi Akrostik?’, mendefiniskan puisi akrostik dengan dua pengertian : umum dan khusus. Secara umum, puisi akrostik adalah puisi yang tiap barisnya disusun berdasarkan awalan huruf dari sebuah kata. Secara khusus, yakni berdasarkan arti kata “akrostichis’  (bahasa Yunani), akrostik merupakan sajak yang barisnya disusun sesuai huruf awal kata atau kalimat (lihat bobo.grid.id, diakses 14 Maret 2024, pukul 21.47 Waktu Arab Saudi/WAS).

Dari dua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi akrostik adalah puisi atau sajak yang baris-baris atau larik-lariknya disusun berdasarkan huruf awal kata atau kalimat yang dipilih. Pada puisi-puisi akrostik karya siswa-siswi SIR kelas V.B sekolah dasar (SD), judulnya adalah nama diri siswa-siswi itu sendiri, kecuali ada satu puisi yang berjudul ‘Puisi’ tapi kumpulan huruf-huruf awal setiap larik membentuk kata ‘Alyssa’. Dan satu puisi lagi, sebelum nama pertama penulis yang semestinya jadi judul, dibubuhi frase ‘Ini Puisiku’ (lengkapnya, ‘Ini Puisiku : Falisha Shafiya Z’). Secara umum, berikut dua contoh puisi akrostik hasil cipta siswa under the concern.

 

AFRAH

ousman abdul cadar

Aku sangat suka pada hewan kucing

Flora adalah pemandangan yang paling saya suka

Riang dan gembira adalah arti nama saya

Aku adalah warga Indonesa

Harapan ku adalah membuat kedua orang tua ku bangga

olahraga kesukkan* ku adalah futsal

udang adalah makanan kesukaan

sapi adalah hewan kessukan*  ku

makanan bergizi membuat ku sehat

aku adalah warga indonesia

nasi adalah makanan pokok ku

 

 

Catatan :

Kata-kata degan tanda bintang (*) adalah kata-kata aslinya yang mungkin disengaja penulisannya seperti itu sebagai sebuah gaya karena kita mendapatkan tiga variannya : kesukkan, kesukaan, kessukan

 

Berdasarkan definisi puisi akrostik di atas, saya menilai setidaknya ada dua karya yang gagal disebut sebagai puisi akrostik. Keduanya adalah sebagai berikut.

 

 

 

Darin nama ku

Aku bersaudara lima

Aku ingin menjadi “model”

Karena pekerjaan

Impian saya

S SAYA MEMBANTU IBU CUCI PIRING

 

A AYAH KU MEMBANTU MENGANGKAT

BARANG KU UNTUK DI BAWA KE KAMAR

 

R RAMAH TERHADAP LINGKUNGAN DAN

KELUARGA

 

A AKU MEMBANTU AYAH MENCUCI

MOBIL

 

H HABIS MEMBANTU ORANG TUA AKU

BERBAGI REZEKI KE ORG YG

MEMBUTUHKAN

 

Kedua puisi di atas tidak memiliki judul yang bisa dijadikan “pilihan kata” yang selanjutnya menyadi pola awal huruf yang akan disusun pada larik-lariknya. Katakanlah, puisi pertama (sebelah kiri) memilih nama “Darin” sebagai kata pilihan, penyusunanan huruf-hurufnya tidak membentuk pola urutan ”D-A-R-I-N”, melainkan “D-A-A-K-I”. Apakah kata dasar “Daki” (kotoran di badan) atau “Daaki” yang dirujuk sebagai dasar pilihan kata? Wallahu’alam. Kita tidak tahu. Tidak ada clue atau petunjuk ke rujukan itu.

 Puisi kedua (sebelah kanan), setali tiga uang : hampir sama dengan yang pertama. Kata apa yang dipakai sebagai basis (dasar) penyusunan baris-baris ke bawah? SABRINA-kah? Kalau ‘ya’, susunan huruf awal ke bawah tidak membentuk kata ‘SABRINA”, melainkan “SABRKAMHBM”. Atau, “SABRKAMHBM” itu sendiri sebagai basis kata pilihan? Tidak ada petunjuk. Tidak jelas. Dan yang lebih penting, sependek pendapat saya, “SABRKAMHBM” bukanlah sebuah kata. Tidak ada maknanya. Bukankah ‘kata’ dimaknai sebagai kumpulan atau susunan huruf-huruf yang memiliki makna?

Dari judul-judul puisi yang ada atau bisa di-generated berdasarkan huruf-huruf awal penyusun larik seperti Alya, Alyssa, Afrah, Falisha, Karina, Kasyfa, Nabila, Zalfa, Yahya, Ousman, Kiran, Hussain, Fathan, Faris, Darin, Azriel dan Abdullah, hanya “Abdullah” yang paling tampak, populer atau kentara nuansa religious-nya, yang berarti “hamba Allah” atau “makhluk dari Sang Khaliq” (lihat “Menjadi Abdullah dan Kholifatullah lewat Puasa” oleh Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si, 2010, dalam uin.malang.ac.id, diakses 14 Maret 2024, pukul 22.56 WAS).

Jika pada judulnya tidak tampak anasir-anasir atau unsur-unsur religiositas, apakah ada jaminan puisi tersebut nihil nilai-nilai religiositasnya? Dan, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan religiositas itu? Pertanyaan terakhir ini perlu dijelasterangkan untuk bisa menjawab pertanyaan sebelumnya sehingga bisa melacak nilai-nilai religiositas yang terkandung dalam karya puisi akrostik siswa.

Religiositas, menurut novelis (almarhum) Romo Mangunwijaya (1982), sebagaimana dikutip Mustajib dalam buku-bukunya Karena Sastra, Bunga Rampai Sastra Anak Gunung Mareje (Penerbit Cerdas Press Mataram 2010 : 2-3) dan Ramadhan Diary, Cerita dan Inspirasi dari Arab Saudi (Penerbit Haura Utama, 2023 : 11), adaalah keintiman relasi vertikal atau relasi transendental antara seorang hamba (makhluk) dengan Sang Pencipta atau Al-Khaliqnya. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, religiositas adalah kedekatan hubungan manusia sebagai ciptaan dengan ‘Kanjeng Gusti’ Allah azza wajalla – Tuhan Yang Maha Esa – yang tidak bisa dijelaskan melalui pengalaman-pengalaman biasa dan bahkan melalui penalaran ilmiah sekalipun. Yang bisa meraskan adalah hati (qalbu) manusia itu sendiri.

Jika dinalar secara umum, di alam dunia dan akhirat ini, hsesungguhnya ada dua entitas : Zat Pencipta (Al-Khaliq) dan segala sesuatu yang diciptakan (makhluk). Keberadaan segala sesuatu ini terkait dengan penciptanya. Hanya saja, terkadang keterkaitan antara ekstrim (titik) segala sesuatu itu terlalu senjang dengan ektrim Zat Pencipta. Sebagai contoh, bedakan nuansa jarak antara (maaf) “pezinah dengan Tuhan” dan antara “Ulama dengan Tuhan”. Kata “ulama” jelas mencerminkan kedekatan seorang hamba yang ulama itu dengan Tuhannya tinimbang kedekatan (spiritualitas) pezinah dengan Sang Penciptanya. Atau, bedakan perbedaan nuansa kedekatan dengan Tuhan pada kedua ungkapan ini : “Aku ingin menjadi pemain boal (bola?)” dengan “Aku ingin menjadi Ustadzah”.

Analogi di atas, menurut pendapat saya, sepertinya bisa dipakai untuk melacak nilai-nilai religiositas dalam ketujuh belas puisi akrostik siswa-siswi kelas B.D SIR sebaimana disinggung di atas. Intinya adalah, kata-kata, frase-frase, klausa-klausa ataupun kalimat-kalimat yang baik dan/atau bermakna positif yang dipilih atau dipakai oleh pencipta puisi pastilah mencermintkan kedekatan keterhubungan (setidaknya, ingatannya) dengan Tuhannya. Sebaliknya, ungkapan-ungkapan kasar, kotor dan bermakna negatif yang terkandung dalam pilihan-pilihan kata-katanya (diksinya) mencerminkan jauhnya ketersambungan ingatan antara pencipta puisi dengan Pencipta Alam Semesta ini. Dengan keyakinan inti (core of faith) ini, mari kita coba sisir ketujuh belas puisi untuk memastikan ada tidaknya kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan yang baik atau berasosiasi positif, yang mencerminkan kedekatan hubungan makhluk dengan Penciptanya.

Ternyata ada beberapa puisi yang menunjukkan kekentalan religiostas yang pekat. Di dalam puisi “AFRAH” ada ungkapan “Harapan ku adalah membuat kedua orang tua ku bangga”, yang menunjukkan pernghormatan yang tinggi terhadap kedua orangtua sebagaimana perintah (setiap) agama. Sang anak (penulis atau aku-lirik) berusaha ‘membahagiakan kedua orangtua. Ridho orangtua adalah ridho Ilahi. Hal senada terungkap juga dalam puisi “Zalfa” melalui larik “Aku ingin membanggakan orangtua ku ....” Ungkapan lainnya yang selevel adalah “Aku ingin menjadi Uztadzah” dalam puisi “Alya”.

Ungkapan-ungkapan di layer atau lapis kedua tingkat kepekatan religiositasnya, antara lain, adalah “Apa kau mau berteman denganku?” dalam puisi ‘Falisha’ yang mencerminkan nilai silaturrahmi; “Impianku menjadi tentara” (puisi ‘Nabila’) yang memperlihakan nilai “bela negara” sebagaimana fatwa Pahlawan Nasional KH Hasyim Asyhari kepada arek-arek Soerobojo untuk melawan tentara Inggris pada Pertempuran Surabaya 10 November 1945; “Hobiku membaca” (dalam ‘Fathan’) sebagai wujud wahyu ‘Iqra’ (QS Al Alaq ayat 1), dan “Afrah adalah sahabat terbaik ku” (dalam ‘Nabila’) sebagai pengejawantahan saling menyayangi sesama manusia.

Untuk layer-layer ketiga, keempat dan seterusnya, sidang pembaca bisa mencarinya sendiri-sendiri dan mengklasifikasi atau me-ranking sesuai dengan rasa bahasa, interpretasi dan perspektif masing-masing. Jika berminat, dipersilahkan membaca dan mencermati puisi-puisi akrostik terlampir, diluar yang sudah dinukilkan di atas. Selamat mencari dan menikmati proses pencarian.

JIka ternyata ungkapan-ungkapan yang memuat nilai-nilai religiositas sedikit dan/atau cukup banyak namun masih sangat "encer", harap dimaklumi. Mereka masih sangat belia. masih kelas V SD. Belum bisa berkir yang tinggi-tinggi menurut ukuran kita. Tahap perkembangan kognitif mereka masih belum bisa menjangkau yang rada-rada abstrak. Hanya menjangkau yang kongkret-kongkret saja. 

Atau bisa jadi, (latihan) penulisan puisi akrostik ini tidak menargetkan "harus berisi nilai-nilai religiositas". Melainkan, mereka masih di-train untuk bisa mengekspresikan diri tentang apa yang mereka pikir, lihat, dan rasakan dengan lancar. Jika dianggap "perlu", mungkin ini menjadi target dalam latihan berikutnya : lebih banyak menyelipkan nilai-nilai religiositas dalam puisi-puisi akrostiknya.

 

Riyadh, 15 Maret 2024

Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi

Pukul : 07.40 Wasktu Arab Saudi

 

Lampran :

Tambahan Puisi-Puisi Akrostik Siswa-Siswi SIR

 

azriel azzamy

Ini Puisiku

   Falisha Shafiya Z

Aku  adalah pemberani

                     Zig-zag bikin aku

                            Semangat

   Rasa es krim

sangatlah enak

         Indonesia negara ke sukaan ku

E football adalah game kesukaan ku

       Lebih belajar lebih pintar

 

F alisha namaku

A ku suka kucing

L opis kue favorit ku

I ndonesia negara asalku

S ekarang aku tinggal di Qatar

H obiku memasak

A pa kamu mau berteman

                 Denganku?

 

 

 

Puisi dalam Nama

         “Alya”

 

Hussain

A nganku ingin menjadi

                            ustadzah

L uasnya orang yang datang

Yakin dan percaya Aku selalu

                                     tahu

Ada kesempatan yang Akan

                                         berlalu

Hussain namaku

Usiaku 10 tahun

Salsabila nama adikku

Adikku yang lain namanya Yasmina

Ia berusia 5 tahu

Negara asal kami Indonesia

 

 

 

Notes

NABILA

 

 

Nabila nama ku

Alif adalah keponaan ku

Besar nanti aku ingin bercita2 menjadi dokter spesialis

Impian ku adalah berlibur ke luar negeri

Lemper makanan kesukaan ku

Afrah adalah sahabat terbaik ku

 

Darin nama ku

Aku Bersaudara Lima

Aku ingin menjadi “model”

karena pekerjaan

impian saya

 

 

 

 

KIRAN

K asyfa namaku

A ku ingin menjadi pemain boal

S epak bola hobiku

Y ang aku inginkan mengejar cita cita

A ku lahir di indonesia

Kiran adalah nama ku.

Impian ku menjadi tentara.

Ramah dan riang adalah sikap ku.

Aku suka menggambar.

Nari kadang membuat ku bahagia.

 

 

 

              FARIS

             Zalfa

 

Football adalah olahraga

  Favoritku

Anganku adalah menjadi

  Pemain bola saat aku dewasa

Ramah adalah dan beraniku

Indonesia adalah tanah air

Saya adalah anak mandiri

Z aman sekarang

            aku tiba tiba

            sangat ingin

       menjadi dokter

Aku melihat vidio orang yang

           menjadidokter dan ia sukses

L ama lama aku tertarik dengan

                    kedokteran

Fakultas kedokteran yang aku mau

               saat besar nanti

Aku ingin membanggakan

   orangtua ku dan indonesia

                   “Puisi”

FATHAN

 

Aku ingin menjadi dokter

Langkah KakiKu memilih cita-cita

  Impianku

YakinkKu untuK menjadi Yang terbaik

Sangat mulia tugasSeorang dokter

Seperti Yang aKu impiKan

Aku akan berusaha dengan baiK

Fathan namaku.

Aku anak yang baik.

Hobiku membaca.

Astronot impianku.

Nanti aku besar

 

 

 

Yahya

(“Abdullah”)*

yahya al walid adalah nama ku

aku suka bermain bole

hariamu adalah hewan kesukaan aku

yogurt adalah minuman kesukaan aku

ayam adalah makanan kesukaan aku

Aku orang muslim

Berani dan Tangguh

Demi kesuksesan

Untuk masa depan

Latihan setiap hari

Lari mengejar cita-cita

Aku harus kuat

Hadapi tantangan Hidup

 

 

 

Karina

 

 

Karena aku pemberani dan mandiri.

Anganku menjadi pianis saat menjadi

dewasa nanti.

Revolusi ku meningkat sangat tinggi dengan

kepercayaan diri ini.

Indahnya masa kecil ini Berjuang demi

cita-cita

Nafas demi Nafas meraih cita-citaku

Angka demi Angka, ku percaya diriku Bisa.

 

 

 

 

 

 

 

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama