Oleh
Mustajib
Jagat literasi
dunia mencatat ribuan penulis perempuan yang diakui secara internasional dalam
berbagai genre dan di lintas era. Diantara ribuan penulis perempuan dunia itu,
salah seorang yang cukup ‘memesona” atau membetot perhatian saya adalah Emily
Dickinson. Setidaknya ada empat (4) alasan personal yang membuat saya
cukup memperhatikan perempuan yang dikenal sangat produktif menulis puisi ini. Keempat
alasan yang dimaksud adalah produktivitas, keunikan, “kehambelan”, dan
kereligiositasannya.
Emily Dickinson (selanjutnya, dalam penulisan dipakai first
name “Emily’) lahir pada 10 Desember 1830 di Amherst, Massachusetts,
Amerika Serikat. Emily dikenal sebagai penyair papan atas. Selain dikenal
sebagai penyair yang unik dengan puisi-puisi yang puitis dan eksperimental, ia juga
dikenal sangat produkrif. Selama masa hidupnya (kurang lebih 56 tahun), penyair
“soliter” yang meinggal pada 15 Mei 1886 telah menulis lebih dari 1.800
puisi (lihat equashay.wordpress.com, diakses 12/01/2024, pukul 16.34
Waktu Arab Saudi/WAS).
Jagat sastra dunia mengakui bahwa keproduktivitasan
Emily tidak semata-mata berdasarkan kuantitas karya-karyanya, melainkan juga
kualitas buah penanya. Karena aspek produktivitas secara kuanititatif dan
kualitatif inilah maka ia dikukuhkan sebagai salah satu penyair (perempuan)
paling berpengaruh khususnya dalam sejarah sastra Amerika.
Keunikan dan kehambelan (humble, rendah hati) merupakan
dua entitas yang tidak terpisahkan dalam diri kehidupan dan kepribadian Emily. Di
atas telah disebutkan bahwa semasa hidupnya Emily telah menciptakan lebih dari
1.800 judul puisi. Secara annecdotal data, dari jumlah seabreg (sebanyak)
itu, hanya sebagian kecil (few) saja yang terpublikasikan. Bahkan dalam
rekaman ChatGPT (Kamis, 11l01l2024 : 16.47 Waktu Saudi Arabia/WAS) hanya tujuh (7) puisi yang terpublikasi
semasa hidupnya. Dan itu pun tanpa nama alias anonim. Bukankan ini sebuah
keunikan?
Di balik keproduktivitasan yang mencengangkan itu,
terselip keunikan lainnya diri Emily. Yakni, ia sepertinya secara sadar memilih untuk hidup secara relatif
terisolir atau tertutup dari dunia luar. Pilihan ini sepertinya kontradikitif
dengan keyakinan umum yang beranggapan bahwa untuk menjaga agar seorang penulis
tetap produktif dan memiliki ide-ide yang cemerlang atau brilian untuk bahan
tulisan adalah banyak bergaul dengan orang lain dari kalangan yang berbeda-beda
(Agung Nugroho CS, 2023 : 10). Dalam kesendirian, kesepian (soliter),
keheningan dan pengasingan diri dari dunia luar, Emily tetap produktif dan
puisi-puisinya secara luas diakui sebagai puisi-puisi yang berpengaruh, sekali
lagi, dalam khasanah sastra Amerika pada khususunya dan sastra dunia pada
umumnya.
Pilihan untuk berjarak dengan dunia luar secara wadag
(fisik) antara lain dapat terlihat dalam puisinya yang berjudul (diberi judul)
“I Never Saw A Moor”. Larik-lariknya berbunyi “I never saw a moor;/I
never saw the sea,/Yet know I how the heather looks,/And what a wave must
be.//I never spoke with God,/Nor visited in heaven;/Yet certain am I of the
spot/As if the chart were given.//
Dalam puisi bertajuk “Tak pernah kulihat pelabuhan” di
atas secara harfiah terlihat bahwa “aku lirik” (katakanlah diri Emily
Dickinson) tak pernah melihat pelabuhan dan tak pernah pula melihat laut.
Namun, ia tahu benar pesona perpaduan pelabuhan dan laut. Dan tahu pula seperti
apa the nature (sunatullah) gelombang yang ada. Pada bait kedua
(//), aku lirik mengakui bahwa ia memang belum pernah berdialog langsung dengan
Tuhan, juga belum pernah bertamu di surga. Namun, ia yakin benar bahwa di
“perkawinan antara laut dan pelabuhan” itu ia serasa berada di firdaus
bersamaNya seakan-akan itu bukan takdirnya (draf).
Secara psikis, keberjarakan dengan lingkungan dan kohesi
sosial terjustifikasi melalui puisinya yang bertajuk “The Soul Selects Her Own
Society”. Sependek penafsiran dan
pemahaman saya, dalam puisi tersebut aku lirik (sekali lagi, sebagai reprentasi
Emily Dickinson) menutup pintu (shut the door) untuk terkoneksi dengan
ibadah atau kebaktian akbar (devine majority) dan tak pernah hadir lagi
(present no more, Unmoved … Unmoved … Choose One … close the Valves of her
attention … Like Stone) karena ia sangat yakin bahwa setiap jiwa akan
menemukan entitas sosialnya yang pas (her own Society).
Untuk keutuhan penafsiran dan/atau pemahaman, berikut
disajikan larik-lariknya aslinya. Emily menulis: The Soul selects her own
Society -- / Then – shuts the Door -- / To her devine Majority – Present no
more // Unmoved – she notes the Chariots -- / pausing -- / At her low Gate -- /
Unmoved – an Emperor be kneeling / Upon her Mat -- // I’ve known her – from an
ample nation -- // Choose One -- / Then – close the Valves of her attention --
/ Like Stone -- //.
Aspek berikut ini termasuk keunikan Emily, namun bisa
juga dianggap sebagai suatu entitas terpisah atau menjadi entitas yang lainnya
dalam diri Emily. Entitas yang dimaksud adalah “kehambelan” (being humble,
rendah hati). Kehambelan atau kerendahhatian Emily terlihat jelas – menurut
saya – dalam puisinya “I’m Nobody! Who are you?”.
Dalam pusi tersebut, aku lirik (Emily Dickinson) meng-identifies
dirinya sebagai “nobody”, yang bernuansa makna “bukan siapa-siapa”, yang
dipertentangkan dengan “somebody” sebagai “Seseorang” bernama besar
semisal raja, penguasa, pejabat, orang berpengaruh, tokoh penting, politisi beken
(termasyhur), pesohor yang menjadi buah bibir, dan orang-orang sejenisnya yang
lebat pujian dan kekaguman.
Puisi bernada satir tersebut selengkapnya berbunyi: I’m
Nobody! Who are you? / Are you – Nobody – too? / Then there’s a pair of us!
Don’t tell! they’d advertise – you know! / How dreary – to be – Somebody! / How
public – like a Frog -- / To tell one’s name – the livelong June -- / To an
admiring Bog! Secara bebas dan/atau harfiah, terjemahan puisi ini kurang
lebih sebagai berikut.
Aku bukan
siapa-siapa! Siapakah kau? / Apakah kau
– bukan siapa-siapa – juga? / (jika ‘ya’) Berarti kita berdua saja! Tak perlu
kau cerita! Kau tahu -- mereka terus mengiklankan dirinya! / Alangkah
menjemukan – menjadi – Seseorang! / Betapa
selalu ingin diketahui khalayak – bagai seekor katak -- / terus-menerus gaungkan
nama – sepanjang usia Juni -- / ke seantero rawa nan tampak memesona!
Berangkat
dari pemaknaan (personal) puisi di atas, sekali lagi dengan mengasumsi aku
lirik sebagai representasi diri Emily Dickinson, terlihat jelas bahwa bahwa
Emily tidak suka publisitas atau tidak suka populer (being popular). Ia
tidak ingin – misalnya – seperti politisi yang selalu berkoar-koar mengiklankan
dirinya selama musim kampanye. Bisa jadi, karena sikap inilah maka dari 1,800
lebih puisinya itu hanya amat-amat sedikit (few) yang dipublikasikan. Yang
“few” itu, mungkin hanya yang 7 puisi itu yang terpublikasi, dan itupun tanpa
nama alias anonim.
Selain tidak suka popularitas (diri) yang menunjukkan
kerendahhatian, lebih suka menyepi, unik, dan produktif, Emily juga dikenal --
melalui puisi-puisinya -- sebagai penyair yang kadar religiostasnya sangat tergolong
tinggi. Hal ini bisa dimaklumi antara lain mengingat ia pernah mengenyam
pendidikan seminari di Mount Holyoke Female Seminary di South Hadley,
sekalipun itu cuma berlangsung satu tahun (poets.org, diakses
20/01/2024, pukul 13.24 WAS). Seminari adalah sebuah lembaga pendidikan tinggi
dalam tradisi Gereja Katolik dan beberapa dominasi Kristen lainnya, yang fokus
pada pendidikan dan pelatihan calon imam, pastor, atau pekerja gereja
lainnya.
Relgiositas yang saya maksud di atas adalah keintiman
relasi vertikal atau relasi transendental antara seorang hamba (makhluk) dengan Sang Pencipta atau Al
Khaliqnya (Manungwijaya, 1982). Orang yang religius adalah orang yang (tampak)
selalu dekat dengan Tuhannya.
Keriligiusitasan Emily sangat tampak dalam sejumlah
puisinya. Di dalam puisinya yang bertajuk ‘I Never Saw A Moor’ di atas,
dengan sangat jelas ia mengakui eksistensi Tuhan sebagaimana tercermin
melalui larik-larik yang berbunyi “I never spoke with God,/Nor visited in
heaven;/Yet certain am I of the spot/’. Ia pun bukan pribadi yang
‘sombong’, salah satu karakter yang dalam khasanah agama Islam, sangat dimurkai
Allah SWT (lihat Qur’an Surah Al-Isra’ ayat
: 37).
Ketidaksombongan tersebut terterlihat melalui puisi ‘I’m
Nobody! Who are you?’ Dalam puisi tersebut Emily seakan-akan atau mungkin mau
berkata, “Aku – wlalau sudah belajar tentang agama Kristem melalui seminari dan
telah bisa menciptakan banyak puisi – bukanlah siapa-siapa.” Aroma keriligiusitan
Emily juga sepintas (implied, tersirat) berkelebat dalam puisinya ‘The
Soul Selects Her Own Society’, terutama melalui baris-baris transendetalnya
“… The Sould selects her own Society …” yang tidak hanya diperoleh melalui
“… devine Majority….”.
Religiositas Emily yang paling transparan, masih menurut
penilaian saya, adalah melalui puisinya yang paling fenomenal, yaitu “Because
I could not stop for Death” (Karena Aku tak Bisa menghentikan Kematian).
Dalam khasanan dunia Islam, judul puisi ini mengingatkan kita pada surah
Al-A’raf ayat 34 yang berbunyi
“Tiap-tiap umat mempunyai ajal, apabila telah datang ajal mereka, maka mereka
sekali-kali tidak dapat mempercepatnya dan menundanya”.
Beberapa poin lain yang menunjukkan keriligiusitasan
Emily dalam puisi tersebut dapat dilihat selengkapnya melalui larik-lariknya
sebagai berikut : “Because I could not stop for Death -- / He kindly stopped
for me -- / The carriage held but just ourselves -- / And Immortality. // We
slowly drove – he knew no haste, / And I had put away / My labor, and my
leisure too, / For his civility -- // We passed the school, where children
strove / At recess – in the ring -- / We passed the fields of gazing grain -- /
We passed the setting sun -- // Or rather – he passed us -- / The dews grew
quivering and chill -- / For only gossamer my gown -- / My tippet – only tulle
-- // We paused before a house that seemed / A swelling of the ground -- / The
roof was scarcely visible -- / The cornice – in the Ground -- // Since then –
‘tis centuries – yet / Feels shorther that the day / I first surmissed the
horses’ heads / were toward eternity //.
Yang menarik perhatian saya adalah pandangan Emily
tentang kematian. Bahwa kematian itu tidak seperti yang lazim dibayangkan
sebagai sesuatu yang ‘menakutkan’, ‘menyeramkan’ atau ‘mengerikan’. Kematian
itu, dalam padangannya, adalah entitas (makhluk) yang ramah saat menjemputnya, “He
kindly stopped for me”. Kematian dianalogkan bagai sebuah kereta kencana (carriage)
yang dengan pelan penuh kehati-hatian ‘menggendong’ Emily bersama keabadian (immortality)
melewati ‘seminari’ (school) tempat para calon “penggembala” berjuang,
melintasi padang-padang gandum yang telah menampakkan bulir-bulirnya,
mengiringi matahari menuju peraduan (We passed the setting sun), menembus
paruh terakhir malam (The dews grew quivering and chill) hingga
menjumpai ‘rumah tinggal’ serupa gundukan tanah tertutup mahkota, dimana di
tempat itu, sejak saat itu, waktu yang berabad-abad akan terasa lebih pendek
dari sehari, menuju suatu keabadian (eternity).
Dari paparan sederhana di atas terlihat jelas bahwa aku
lirik (penyair Emily Dickinson) memandang dan memaknai kematian bukanlah
sesuatu yang menakutkan, melainkan sosok makhluk (ciptaan Tuhan YME) yang pada
dasarnya bersahabatdan yang menjadi
jembatan atau gerbang emas menuju kehidupan yang abadi.
Saya tidak tahu persis ajaran Kristen yang diimani dan
dilakoni Emily Dickinson. Saya juga tidak tahu seperti apa sesungguhnya lahir
bathin Emily Dickinson. Yang saya ketahui dan yakini, melalui beberapa puisinya
yang saya baca, ia adalah sosok pribadi penyair yang religius, yang jiwanya (her
soul) selalu tertambat dan sangat tidak berjarak dengan Sang Pencipta,
Tuhan Yang Maha Esa.
Madinah - Riyadh, (rampung) 31 Januari 2024
Dilpomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi
15.13 Waktu Arab Saudi (WAS)