Dok. Koleksi Harian Haluan
Ramadhan, Bulan Perbaikan Gizi
Oleh
Mustajib
Sangat menarik tulisan Pak DeSus (Pak Susanto) yang
dimuat di ramadan.kompasiana.com dan di-reposting di WAG Rumah
Virus Literasi (RVL) pada Jumat, 22 Maret 2024. Tulisan tersebut berjudul “Kuluban
Daun Mangkokan, Selingan Makanan Berbuka Anak Kos di Ujung Minggu”.
Saya katakan ‘sangat menarik’ karena, bagi saya pribadi,
tulisan tersebut menstimuli kemunculan kembali memori saya selaku anak kos di
era paruh kedua tahun 1980an. Di tahun 1986, 1987 dan 1988, saya sedang nyantrik
(menjadi siswa) di “padepokan” bernama “sekolah menengah atas (SMA)”.
Secara garis besar, tulisan tersebut memuat bagian-bagian
pertiwa yang sama dan yang berbeda. Persamaan yang paling menonjol adalah
terkait dengan “penjatahan (bahan) konsumsi”. Persis sama, saat berangkat
(kembali) ke kontrakan atau kos-kosan di awal pekan (Minggu sore) atau
pagi-pagi hari Senin, saya dibekali dengan beras, biji-bijian (wajib),
sayur-sayuran (jika ada), bumbu-bumbu dan sedikit uang yang diperkirakan cukup
untuk menambah bekal selama satu atau dua minggu.
Pola pemanfaatannya,
insha Allah, sama. Lauk yang sudah jadi, yang kadang-kadang diselipkan, akan
dihabiskan duluan. Kalau tidak habis sekali santap, selebihnya dihangati untuk
santap kedua, dan demikian seterusnya sampai habis. Setelah lauk matang habis,
giliran untuk sayur-sayuran, dimulai dari yang cepat busuk atau layu. Semisal
dibekali kangkung dan seiris kol, maka kangkung dimasak duluan. Kol menyusul.
Masuk dalam kategori sayur mayur ini, selain bayam, kangkung dan kol, adalah
buah komak, kacang panjang (dengan aneka varietas), dan kecipir.
Setelah lauk matang dan sayur-sayuran habis, mulailah
biji-bijian masuk “dapur masakan”. Biasanya yang termasuk biji-bijian ini
adalah biji kedele, biji komak, bii kacang panjang, dan lain-lain. Biji-bijian
ini bisa dimasak atau dijadikan campuran sayur asam berbahan kangkung atau kol.
Tapi, karena tahan lama, biasanya
dimasak paling akhir. Cara masaknya sangat praktis : digodok, setelah air
mendidih, dimasukkan bumbu atau sambal bawan putih, bawang merah, cabai,
terasi, garam dan sedikit micin), lalu diberikan sedikit minyak kelapa. Sangat
sedap, untuk ukuran anak kos.
Perbedaan yang paling menonjol adalah alasan “ngekos”
alias ngontrak. Kalau Pak DeSus milih ngontrak supaya tidak capek, tidak lelah,
dan tidak terburu-buru di pagi hari. Menurut Pak DeSus, dari sisi jarak rumah
dengan sekolah sangat memungkin untuk bolak-balik (commuting), yakni 21
km, terlebih lebih transpotasi lancar, Pak DeSus memilih tinggal di rumah kos.
Kalau saya, saya “terpaksa” atau “dipaksa” harus ngekos supaya lebih
irit, lehih hemat. Kalau segi jarak, cukup memungkinkan untuk bolak-balik,
yaitu sekitar 10 km. Hanya saja waktu itu, transportasi belum terlalu lancar.
Namun ada yang spesial, di bulan Ramadhan, saya selalu diizinkan,
bahkan disuruh, bolek balik oleh orangtua. Alasan orangtua, khususnya Amaq
(Bapak), mengizinkan, yang saya rasakan baik secara langsung maupun tidak
langsung, terutama secara tersirat, berbeda dari tahun ke tahun. Di tahun pertama,
orangtua merasa kasihan kalau saya harus berkutat dengan berbagai hal di bulan
ramadhan memngingat saya masih dianggap ‘kecil’, belum genap setahun lulus
sekolah menengah pertama (SMP). Apalagi tahun pertama merantau, pisah dengan
orangtua. Mungkin dalam batin beliau (almarhum Amaq), betapa melelahkan
jika sehabis pulang sekolah, hanya istirahat sebentar, lalu kembali belajar
sambil menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Apalagi pada dini harinya, saat
menyiapkan makanan untuk sahur, dirasa mungkin masih letih karena kurang
istirahat setelah sholat taraweh 23 rekaat dan – mungkin – sedikit tadarus.
Pilihan terbaik adalah pulang, bulak-balik.
Di ramadhan tahun kedua SMA (kelas 2), alasannya adalah
agar lebih fokus belajar untuk memperahankan dan/atau meningkatkan nilai atau
prestasi. Dan agar yang dimakan di
rumah dengan di koskosan, antara saya dengan keluarga, tidak ada perbedaan.
Jika keluarga bebruka puasa dengan kolak (biasanya begitu), maka saya pun bisa
berbuka dengan kolak. Hal ini akan terasa sulit bagi saya jika membuat kolak sendiri
di kos-kosan.
Di tahun
ketiga, sewaktu kelas 3 SMA, orangtua (Amaq) semakin mantap untuk
menyuruh saya bolak balik. Secara kebetulan ujian nasional jatuh pada
bulan ramadhan juga. Saya merasakan ada support lahir batin dari orangtua,
baik dari Amaq maupun Inaq terek (Ibu Tiri), agar saya
benar-benar fokus belajar untuk menghadapi ujian nasional sehingga mendapatkan hasil
yang baik. Memang, saat di SMA inilah satu-satunya masa dimana sudah ada
kejelasan bahwa setelah tamat SMA, langsung melanjutkan. Ini agak beda ketika
tamat sekolah dasar (SD) maupun tamat SMP. Apakah menlanjutkan ke SMP atau ke
SMA, tidak terlalu jelas. Banyak
lika-likunya.
Saling memberi
support secara spiritual begitu terasa terutama dari (alm) Amaq
saya. Selepas sholat tarawih 23 rekaat, kami biasanya langsung istirahat
atau tidur malam. Setelah terjaga, kami sering saling mendapati bahwa kami
melakukan sholat malam (qiyamul lail) tambahan, untuk memohon doa agar
diberikan kesehatan dan kelancaran melaksanakan ujian nasional. Kegiatan
semacam itu kami akhiri dengan makan sahur sebelum waktu imsak tiba.
Alhamdulillah, dengan diizinkan saya bolah balik untuk
sekolah selama tiga ramadhan tersebut, saya merasakan ramadhan sebagai bulan
perbaikan gizi, baik gizi jasmani (karena makannya lebih teratur dan berbahan serta
berkualitas sama dengan yang dikonsumsi keluarga) maupun gizi ruhani. Dengan
tidak memikirkan atau disibukkan untuk menyiapkan makanan sendiri, belajar dan
beribadah terasa makin maksimal.
Mungkin karena perbaikan gizi jasmani dan ruhani di
bulan-bulan ramadhan itulah, Alhamdulillah wa tabarakallah, saya dapat
mengakhiri ujung masa studi di SMA secara sangat bergizi : lulus dengan NEM (Nilai
Ebtanas Murni) tertinggi di SMA saya dan bisa masuk perguruan tinggi (di luar
daerah) melalui jalur PMDK (Penelurusan Minat dan Bakat). Jazakaumullahu
khairan katsira pedare (Alm) Amaq dan juga pedare (almarhumah)
Inaq Terek. Semoga engkau tenang di
alam sana : terus menikmati amal-amal bergizi dari saya sekeluarga (juga, insha
Allah, dari saudara-saudara saya). Barakallah.
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi.
Pukul : 09.13 Waktu Arab Saudi / WAS
Luar biasa tulisannya. Terima kasih sudah mengapresasi tulisan saya.
BalasHapusSiap, Pak Sus. Siap menanti tulisan-tulisan Pak Sus berikutnya. Pasti menginspiras. Salam sehat dan sukses selalu. Aamiin
BalasHapus