Nyawa Hewan Lebih Dihargai dari Nyawa Manusia?
Oleh
Mustajib
Saya pribadi sempat kaget, dan serasa tak percaya, ternyata
ada orang yang lebih menghargai nyawa hewan ketimbang nyawa manusia.
Itu terjadi
pada diri Khalida Said. Khalida adalah seorang kritikus dan penulis berkebangsaan
Siria. Pada Januari 2024 lalu,
kontributor pada gerakan literasi modern mengisahkan pengalamannya melalui majalah
“Al Majalla” edisi tahun baru 2024. Berikut ini ringkasan ceritanya.
Selama Perang
Libanon berkecamuk, Khalida bersama keluarga tinggal di wilayah Mazraa, dekat
dengan barak-barak Mir Bhashir dan tak
jauh dari kompleks Kampus Universitas Libanon, Beirut (Barat). Suatu
saat, di tengah-tengah desingan hujan bom, hanya ia dan anaknya yang
tertinggal. Keluarganya yang lain
sudah pergi, menjauh. Sebenarnya salah seorang temannya menawarkan kepada Khalida
dan putrinya, demi keamanan, tinggal di rumahnya dekat Jalan Al-Hamra. Namun, Khalida
hanya menitipkan burung kesayangannya di tetangganya itu. Khalida bersama
anaknya pergi.
Karena
bombardir semakin meningkat di wilayah barat, tetangga tempat menitipkan burung
itu menelpon. Khalida diminta mengambil burungnya karena mereka sedang bergerak
menuju gunung-gunung. Khalida akhirnya menitipkan anaknya di tetangga
dan pergi untuk mengambil kembali burungnya.
Sekembali
mengambil burungbya, Khalida menenteng
sangkar dan burungnya. Ia berdiri di pinggir jalan ruas Jalan Al-Mazra, menunggu
kendaran untuk ke tempat anaknya. Beberapa
kali ia melambaikan tangan untuk menghentikan taksi. Tapi tidak ada yang mau
behenti. Hampir putus asa. Khalida terus berjalan menuju tempat ia menitipkan
anak bungsu.
Entah dari arah mana, tiba-tiba terdengar sebuah mobil
menderu kencang. Namun, tiba-tiba terdengar rem mobil tersebut memekik ke
seluruh angkasa. Mobil itu memutar dan menghampiri Khalida. Sang sopir menanyakan
tujuan Khalida, hendak kemana. Khilda pun menjawab bahwa ia hendak ke ujung Jalan
Al-Hamra. Saat itu Khalida tidak mengenakan pakaian yang menunjukkan identitas
tertentu : identitas agama atau afiliasi-afiliasi, yang saat itu sangat lazim
dijadikan target.
“Masuklah,” pinta sang sopir. “Nanti saya carikan tempat
untuk menurunkanmu, tidak jauh dari tujuanmu. Tinggal jalan sedikit,” imbuh
sang sopir.
Sebelum masuk mobil, sang sopir menceritakan bahwa untuk
sementara ia tidak bekerja sebagai sopir karena situasinya sedang sangat
membahayakan. Ia hanya keluar untuk membelikan roti untuk anak-anaknya.
“Namun demikian, ketikat melihat dirimu dan seekor
burung di tengah-tengah hujan bom, saya merasa kasihan dengan burungmu. Itulah
yang memaksaku untuk berhenti,” kata sang sopir dengan polos.
Cerita di
atas menceritakan minimal 3 hal kepada kita. Pertama, bahwa manusia secara
filosofis merupakan sebuah “enigma”, yaitu suatu misteri yang sangat misterius.
Tidak bisa ditebak. Kedua, dalam keadaan perang atau situasi-situasi kepanikan,
kata Khilda, manusia atao orang akan menunjukkan “warnanya” yang sebenarnya. Kadang-kadang
ia menunjukkan sifat altruistiknya, dan tidak jarang mempertontonkan sifat absurdnya.
Sang sopir, menurut hemat saya, telah menunjukkan kedua
sifat tersebut. Ia membantu demi kebaikan itu sendiri tanpa mengharapkan
imbalan – ia tidak mau dibayar dan bahkan memberi sepotong roti kepada Khalida.
Namun, tindakannya membantu Khalida bukan karena prihatin atas keselamatan
nyawanya melainkan karena nyawa burung yang terancam merupakan sifatnya yang
absurd : lucu, terkesan konyol, dan mungkin menggelikan.
Ya, seperti itulah manusia sebagai sang mahkluk yang enigmatis.
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi.
Pukul : 02.13 Waktu Arab Saudi / WAS
Terima kasih kisah yang menjadi pelajaran
BalasHapusJazakallah khair, atas silaturrahmi dan 'semangat' motivasinya. Semoga menjadi tambahan amal ibadah. Aamiin
Hapus