Cari Panggung


                                       Dokumen : shutterstock.com 2301332765

Cari Panggung
(Sebuah Analisis Tentatif Kasus Berbahasa)
Oleh
Mustajib

Beberapa waktu lalu, di sebuah masjid selepas sholat berjamaah, seorang sahabat saya mendekati saya, lalu berbisik, “Kepada Panitia Buka Puasa Bersama, saya minta agar siswa-siswi Bapak dilibatkan entah mungkin sebagai pembaca kalam ilahi, pembaca shalawt Nabi, atau apa saja sebagai pengisi acara sebelum waktu buka puasa tiba. Bagaimana menurut Bapak?”.

Mendengar penyampaian itu, dan mendapat pertanyaan seperti kalimat terakhir itu, saya spontan merespon, “Bagus itu. Kami siap. Jika diberikan panggung, kami siap”. Tidak lupa saya sampaikan ucapan terima kasih.

Selepas memberi respon dan kami berpisah, entah kenapa saya tiba-tiba teringat serangkaian ungkapan seperti ‘cari panggung’, ‘mencarikan panggung’, dan ‘diberikan panggung’. Rasa bahasa saya terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (karena bahasa pertama adalah bahasa daerah, Bahasa Sasak), saya merasakan ada perbedaan makna, nuansa makna, atau persepsi makna diantara ketiganya.

Sepertinya bermakna positif kalau saya mengatakan, “Sahabat saya itu telah mencarikan panggung untuk siswa-siswa kami untuk berekspresi dan berlatih secara edukatif.” Kesan ‘mencarikan panggung’ terkesan positif. Bahwa, Beliau telah mencarikan ruang edukasi untuk berekspresi. Karena itulah maka respon saya ‘Jika diberikan panggung’ juga terasa pas. Tidak ada nuansa negatif.

Namun frase atau ungkapan “cari panggung” terasa memiliki konotasi atau asosiasi makna negatif. Dalam berbagai kontestasi politik, mulai dari level terbawah semisal pemilihan ketua RT/RW sampai level tertinggi seperti pemilihan kepala negara, kita sering mendengar pelabelan ‘sedang cari panggung’ kepada para kandidat yang antara lain tiba-tiba ngomang ya-hanu ya-hini, yang notabene bertolak belakang dengan narasi atau kebijakan yang seharusnya ia mainkan sebagai bagian dari sistem yang ‘di-yahanu-yahini’ itu.

Mungkin saya bisa lebih kongkritkan melalui konteks berikut. Seorang pimpinan, berdasarkan aturan yang baku, memberikan sanksi kepada salah seorang bawahan karena melanggar suatu aturan atau kebijakan. Sang bawahan protes, tidak terima dengan sanksi yang diberlakukan karena merasa dirinya dirugikan. Prtotes tidak hanya disampaikan langsung kepada pimpinannya, tetapi juga kepada atasan langsung pimpinannya. Mendapat aduan seperti itu, sang atasan pimpinan menganulir sanksi karena pertimbangan-pertimbangan ‘nyerempet-nyerempet’ subyektif berbungkus ‘humanis’. Dalam konteks ini, rasanya cukup pas kalau dikatakan “sang atasan pimpinan cari panggung di (kalangan) bawahan”. Cari perhatian, cari sensasi, cari aman dan nyaman.

Sekali lagi, ini penilaian berdasarkan ‘rasa bahasa’ saya. Apakah memang benar seperti itu? Saya belum tahu persis. Saya perlu mengkaji lagi secara lebih cermat berdasarkan potongan-potongan narasi terkait yang lebih banyak lagi dan/atau melalui respon pembaca yang lebih ahli.

 

Riyadh, 25 Maret 2024
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi.
Pukul 08.08 Waktu Arab Saudi

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama