(Sebuah Analisis Tentatif Kasus Berbahasa)
Oleh
Mustajib
Beberapa waktu lalu, di sebuah masjid selepas sholat berjamaah, seorang
sahabat saya mendekati saya, lalu berbisik, “Kepada Panitia Buka Puasa Bersama,
saya minta agar siswa-siswi Bapak dilibatkan entah mungkin sebagai pembaca
kalam ilahi, pembaca shalawt Nabi, atau apa saja sebagai pengisi acara sebelum waktu
buka puasa tiba. Bagaimana menurut Bapak?”.
Mendengar penyampaian itu, dan mendapat pertanyaan seperti kalimat terakhir
itu, saya spontan merespon, “Bagus itu. Kami siap. Jika diberikan panggung, kami siap”. Tidak lupa saya sampaikan ucapan
terima kasih.
Selepas memberi respon dan kami
berpisah, entah kenapa saya tiba-tiba teringat serangkaian ungkapan seperti ‘cari
panggung’, ‘mencarikan panggung’, dan ‘diberikan panggung’. Rasa bahasa saya terhadap
bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (karena bahasa pertama adalah bahasa
daerah, Bahasa Sasak), saya merasakan ada perbedaan makna, nuansa makna, atau
persepsi makna diantara ketiganya.
Sepertinya bermakna positif
kalau saya mengatakan, “Sahabat saya itu telah mencarikan panggung untuk siswa-siswa
kami untuk berekspresi dan berlatih secara edukatif.” Kesan ‘mencarikan
panggung’ terkesan positif. Bahwa, Beliau telah mencarikan ruang edukasi untuk
berekspresi. Karena itulah maka
respon saya ‘Jika diberikan panggung’ juga terasa pas. Tidak ada nuansa
negatif.
Namun frase atau ungkapan “cari
panggung” terasa memiliki konotasi atau asosiasi makna negatif. Dalam berbagai kontestasi
politik, mulai dari level terbawah semisal pemilihan ketua RT/RW sampai level
tertinggi seperti pemilihan kepala negara, kita sering mendengar pelabelan ‘sedang
cari panggung’ kepada para kandidat yang antara lain tiba-tiba ngomang
ya-hanu ya-hini, yang notabene bertolak belakang dengan narasi atau kebijakan
yang seharusnya ia mainkan sebagai bagian dari sistem yang ‘di-yahanu-yahini’
itu.
Mungkin saya bisa lebih kongkritkan
melalui konteks berikut. Seorang pimpinan, berdasarkan aturan yang baku, memberikan
sanksi kepada salah seorang bawahan karena melanggar suatu aturan atau kebijakan.
Sang bawahan protes, tidak terima dengan sanksi yang diberlakukan karena merasa
dirinya dirugikan. Prtotes tidak hanya disampaikan langsung kepada pimpinannya,
tetapi juga kepada atasan langsung pimpinannya. Mendapat aduan seperti itu,
sang atasan pimpinan menganulir sanksi karena pertimbangan-pertimbangan ‘nyerempet-nyerempet’
subyektif berbungkus ‘humanis’. Dalam konteks ini, rasanya cukup pas kalau
dikatakan “sang atasan pimpinan cari panggung di (kalangan) bawahan”. Cari perhatian,
cari sensasi, cari aman dan nyaman.
Sekali lagi, ini penilaian berdasarkan
‘rasa bahasa’ saya. Apakah memang benar seperti itu? Saya belum tahu
persis. Saya perlu mengkaji lagi secara lebih cermat berdasarkan potongan-potongan
narasi terkait yang lebih banyak lagi dan/atau melalui respon pembaca yang
lebih ahli.
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi.
Pukul 08.08 Waktu Arab Saudi