Oleh
Mustajib
KECUALI Nabi Agung nan Mulia Muhammad
SAW, sepertinya setiap orang pernah dihinggapi penyakit Su’udzon.
Termasuk diri saya pribadi, sebagai makhluk yang daif, lemah, dan penuh dosa. Saya
sendiri sering merasa menjadi sumber berbagai salah dan khilaf., termasuk khilaf berzu’udzon terhadap orang lain.
Su’udzon, menurut cnnindonesia.com
(diakses, Rabu, 13/03/2024, pukul 07.10 WAS), berinti makna berprasangka
buruk atau negatif atas sesuatu terhadap seseorang, baik sesama muslim maupun
non-muslim. Dan bahkan, perasaan berpikiran negatif terhadap Allah Sang Maha
Bijak pun sering terjadi. Nauzdubillah.
Saya sendiri – dalam konteks
guyonan (joke) -- pernah su’udzon terhadap seorang imam sholat jama’ah
di mushalla dekat tempat tinggal saya di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat
(NTB) beberapa tahun silam. Imam itu tergolong masih muda, mungkin masih
seumuran seorang ayah beranak satu atau dua orang. Dalam beberapa kali menjadi
makmumnya, saya mendengar Beliau gemar (dan saya mendengar khidmat sekali) membaca surat An Nisa’.
Suatu hari, saat saya sedang
membuat joke-joke bersama
almarhum salah seorang keponaan saya, saya menceritakan ‘kegandrungan’ sang imam
membaca surat An Nisa’ tersebut, terutama ayat ketiganya yang agak panjang,
sebagai bacaan ayat-ayat Al-Qur’an setelah selesai membaca surat wajib
Al-Fatehah.
Walaupun arah joke sudah
jelas, terutama bagi kami kaum Adam, saya memilih lebih memperjelas lagi, “Mungkin
sang imam itu ingin nikah lagi sehingga sering membaca ayat itu!” Selepas
kalimat penegasan saya itu, ketawa kami pun pecah. Kami pun makin ngakak bersama
setelah sama-sama mempertegas kembali pesan di dalam ayat tersebut, bahwa
seorang laki-laki boleh menikahi dua, tiga atau empat orang perempuan asalkan
bisa berbuat adil.
Dengan membaca surat itu,
mungkin sang imam tidak bermaksud ingin berpoligami atau mengajak jamaah
berpoligami. Mungkin hanya ada rasa khidmat saja ketika Beliau membaca
ayat(-ayat) tersebut. Ya, mengait-ngaitkan kecenderungan membaca ayat-ayat itu dengan
keinginan nikah lagi itulah mungkin su’udzon saya, jika saya dinilai su'udzon.
Kepada sang imam, maafkanlah
atas kesu’udzonan saya. Semoga Bapak masih hidup dan sempat membaca permohonan
maaf saya ini. Marhaban yaa Ramadhan, 1445 Hijriah. Mohon Maaf lahir dan batin.
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi
Pukul 07.21 Waktu Arab Saudi / WAS
Hehe...betul dilarang suudzon. Saya pernah mencoba menghafal 1 lembar pas di ayat ini. Berkali-kali bahkan membacanya karena ingin menghafal di kamar. Istri saya pun mendengar dengan jelas. Untung tidak muncul pertanyaan dari istri, "Abi mau nikah lagi?".
BalasHapusKalau itu terlintas. Saya yg bingung menjawabnya :)
Silakan singgah di blog saya https://www.abdullahmakhrus.com/2024/03/apakah-anda-termasuk-orang-optimis-atau_12.html
siap. Sedang saya baca seri 1nya. Baca judul dan lead-nya saja saya sdh kepincut. Insha Allah
BalasHapus