Dokumen Pribdi
Zakat dan Shadaqah Akademik
Oleh
Mustajib
Wakil Kepala Perwakilan (Wakepri) KBRI Riyadh / DCM, Yth.
Pak Sugiri Suparwan, didaulat sebagai pengisi kuliah tujuh menit (kultum) pada
acara Buka Puasa Bersama (Bukber) mingguan yang ke-3, Rabu (27/09/204). Di
depan jamaah yang hadir (seluruh Home Staff, local Staff dan
Guru-Pegawai Sekolah Indonesia Riyadh/SIR beserta keluarga masing-masing, Pak
DCM Sugiri – demikian sapaan akrabnya – menyampaikan siraman ruhani bertema seputar
“Hakikat, Fadilah, dan Seruan Bershadakah”.
Shadaqah, menurut Baznas Kota Yogyakarta, adalah
pemberian seorang Muslim kepada orang lain secara ikhlas tanpa dibatasi oleh
waktu dan jumlah tertentu. Lebih lanjut dijelaskan, shadaqah tidak hanya
berarti mengeluarkan atau menyumbangkan harta namun mencakup segala amal atau
perbuatan baik. Ditegaskan bahwa, dalam kegiatan bershadaqah, ada upaya untuk
mencari ridho Allah, mengundang pahala serta kebaikan bagi pelaksananya (lihat baznas.jogjakarta.go.id,
diakses Rabu, 27/03/2024, pukul 22.04 Waktu Arab Saudi/WAS). Berdasarkan uraian-uraian
ini, shadaqah bersifat sukarela alias tidak mengikat.
Beda dengan shadaqah yang tidak mengikat, zakat bersifat
mengikat, atau wajib. Terlebih-lebih zakat fitrah, hukumnya wajib dikeluarkan
pada bulan Ramadhan. Secara umum zakat dimaknai sebagai bagian tertentu dari
harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila telah mencapai syarat
yang ditetapkan (lihat baitulmal.acehprov.go.id, diakses Rabu,
27/03/2024, pukul 22.14 WAS). Kesimpulan yang dapat ditarik terkait sifat antara
zakat dengan shadaqah adalah, shadaqah bersifat sukarela sementara zakat
bersifat wajib.
Berbicara mengenai zakat, saya teringat istilah “Zakat
Akademik”. Term ini diucapkan oleh Dr. H. Muhammad Sukri, M.Hum, dalam
acara launching buku solo saya yang berjudul Karena Sastra, Bunga
Rampai Sastra Anak Gunung Mareje pada 2010 lalu. Dosen Program Pascasarjana
Magister Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Mataram, yang secara
kebetulan memberi kata pengantar buku saya, tersebut menandaskan bahwa
publikasi arya-karya tulis (ilmiah) pada umumnya dan buku pada khususnya bagi seseorang yang berpredikat terdidik atau intelek, sekalipun
bukan dosen atau pendidik di perguruan tinggi, wajib hukumnya. Oleh karena itulah Beliau menyebut "Zakat Akademik".
Di perguruan tinggi, negeri maupun swasta, sebagaimana
kita maklumi bersama, wajib hukumnya bagi dosen – apalagi mereka yang sudah
bergelar ‘guru besar’ (Professor)-- untuk menulis dan memublikasikan tulsan-tulisannya, -- sekali lagi -- terlebih-lebih yang berupa karya tulis ilmiah dan/atau buku. Kewajiban tersebut
secara jelas tertuang dalam “Daftar Kewajiban Dosen Menurut PO BKD 2021” (lihat
ri penerbitdeepublish.com, diakses Rabu, 27/03/2024, pukul 22.44 WAS).
Kewajiban serupa juga berlaku pada pendidik non-dosen, alias
guru, sesuai amanah Permenpan dan RB No.
16 Tahun 2009 tentang “Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya” (lihat pendidik.mojokerto.go.id,
diakses Rabu, 27/03/2024, pukul 22.52 WAS). Menurut Permenpan ini, setiap guru yang
mau naik pangkat ke III.c dan seterusnya wajib hukumnya untuk menulis dan
mempublikasikan tulisan-tulisannya, baik yang berupa karya tulis ilmiah maupun buku.
Diluar itu, hukumnya ‘sunnah’, atau setara dengan hukum ‘shadaqoh’ yang tidak
mengikat alias sukarela.
Jika “zakat akademik” dan “shadaqah akademik” bisa bertumbuhsubur
secara berbarengan, kekhawatiran – tepatnya keprihatinan -- atas terjadi krisis
penulisan di kalangan “ulama” (baca : orang berilmu), sebagaimana disinyalir
oleh berbagai kalangan pemerhati baca-tulis, dapat ditekan ke titik nol (nullified).
Semoga kaum cerdik pandai, intelektual, atau ‘ulama’ segera (bagi yang belum) menunaikan “zakat
akademik” maupun “shadaqah akademiknya” – sebagai pengejawantahan seruan moral
wahyu Ilahi pertama “iqra” (kewajiban membaca dan menyediakan bahan
bacaan), di bulan Ramadhan ini dan di bulan-bulan berikutnya. Semoga.
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi.
Pukul : 23.29 Waktu Arab Saudi / WAS