1 Syawal, juga Hari Awal Kehilangan

                                                  
Dokumen : Sukabumi Update

1 Syawal, juga Hari Awal Kehilangan
Oleh
Mustajib

 

Pada Rabu, 10 April 2024, bertepatan dengan 1 Syawal 1445 H, Pak Kyai Didi Junaedi membuat dan memosting tulisan yang menarik, antara lain di WAG "Sahabat Pena Kita" (SPK), dengan mengajukan pertanyaan substansial-filosofis: Benarkah Hari Raya Idul Fitri (“1 Syawal”) sesungguhnya merupakan hari kemenangan atau hari kekalahan?

Apapun jawaban finalnya, saya juga ingin menyampaikan atau menambahkan bahwa Idul Fitri atau 1 Syawal juga merupakan “awal hari sejumlah kehilangan”. Sebelum saya menyampaikan kehilangan-kehilangan yang dimaksud, baiknya kita ikuti beberaap poin esensial penjelasan Pak Kyai Didi Junaedi untuk menjawab pertanyaan retorisnya.

Bagi Pak Kyai Didi Junaedi, sependek pemahaman saya atas tulisan Beliau, Idul Fitri (1 Syawal) itu benar-benar sebuah kemenangan dalam arti sesungguhnya jika paling tidak ditandai tiga pencapaian. Pertama, kualitas dan kuantitas aktivitas-aktivitas ibadah ritual (semisal puasa zahir-batin, sholat berjamaah, tadarus al-qur’an, qiyamul lail/sholat tarawih,) dan ibadah sosial (berzakat dan bersedkah) yang dilaksanakan selama bulan ramadhan makin meningkat di bulan-bulan selain bulan ramadhan atau minimal setera dengan yang dilakukan selama bulan ramadhan.

Kedua, makna kemenangan itu tergapai jika kita benar-benar kembali kepada fitrah insaniyah, kembali kepada kesucian seorang manusia, seperti ketika baru lahir. Tak ada setitik noda dan dosa yang melekat di jiwa. Bersih, suci, murni. Dan Ketiga,substansi kemenangan itu terengkuh jika dalam diri kita menyatu antara nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan sekaligus.

Jika yang terjadi adalah sebaliknya, kualitas dan kuantitas aktivitas-aktivitas ibadah ritual dan ibadah sosial semakin terjun bebas di bulan-bulan selain bulan Ramadhan, jika (hati) kita kembali pekat berlumuran dosa dan jika nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan kita semakin menjauh selaksa bumi dan langit maka momenteum Idul Fitri atau 1 Syawal itu bukanlah sebuah kemenangan.

Idul Fitri 1 Syawal, selain sebagai momentum untuk “menguji” validitas dirinya sebagai hari kemenangan bagi seorang mukmin dan mukminat, yang pasti, menurut hemat saya, adalah hari pertama (atau kedua) setidaknya atas tiga kehilangan.

Kehilangan pertama, adalah dengan datangnya Idul Fitri atau 1 Syawal, seorang muslim(at) sudah terlepas dari ibadah puasa Ramadhan, dan dengan demikian terlepas juga dari rengkungan ibadah yang bersifat “private’ dan karenanya terlepas pula dari keberkahan dan/atau keistimewahan ibadah yang bersifat “private” itu.

Dalam bukunya Pintu – Pintu Menuju Tuhan, Almarhum (Alm) Dr. Nurcholis Madjid menulis bahwa, tidak ada ibadah sebagai “private” seperti halnya ibadah puasa. Diterangkan, puasa adalah suatu ibadah yang amat prbadi, private, yang berarti suatu ibadah yang tidak mungkin disertai (kehadiran) oleh orang lain, dan juga yang hakikatnya tidak diketahui orang lain. Karena itulah, lanjut Alm. Cak Nur – demikian sapaan akrabnya – puasa itu “milik” Tuhan, dan Tuhan pulalah yang “menanggung” pahalanya. Ekslusivitas pahala inilah yang akan hilang setelah Idul Firti atau 1 Syawal datang.

Kedua, dengan datangnya Idul Fitri aatau 1 Syawal, pintu pelipangandaan pahala pun tertutup sebelum Ramadhan kembali tahun berikutnya. Sebagaimana jamak diketahui bahwa di bulan sebelum 1 Syawal, yakni bulan Ramadhan, setiap kebaikan akan dilipatgandakan pahala kebaikannya.

Terkait dengan pelipatgandaan pahala kebaikan di bulan Ramadhan tersebut, dalam bukunya Spiritualisme Lapar Dalam Ibadah Puasa, Agung Nugroho Catur Saputro (2023) menulis, “Pada bulan yang mulia ini, diyakini setiap kebaikan akan dilipatgandakan pahala kebaikannya. Setiap ibadah puasa di bulan Ramadan bernilai 10 pahala dan di bulan Ramadan setiap pahala dilipatgandakan oleh Allah Swt. menjadi tak terbatas. Bulan Ramadan adalah bulan pelipatgandaan pahala. Setiap ibadah, pahalanya tak terbatas. Di Bulan Ramadan, dilipatgandakan oleh Allah menjadi tak terbatas” (hal. vi). Sekali lagi, mulai 1 Syawal, sampai Ramadhan tiba kembali, momentum pelipatgandaan pahala inilah juga akan hilang melayang.

Dan kehilangan ketiga, yang terakhir dalam tulisan ini, adalah kehilangan satu malam kemuliaan minimal selama 11 bulan 20 hari berikutnya. Malam penuh kemuliaan yang dimaksud adalah malam Lailatul Qadar . Mengutip Ibnu Jarir ath-Thabari, dalam Umsida (umsida.ac.id, “Apa Saja Keistimewaan Malam Lailatul Qadar?”, diakses pada Rabu, 10/04/2024, pukul 15.23 Waktu Arab Saudi/WAS), dikatakan bahwa pahala saat beribadah di malam hari (“Lailatul Qadar” itu), lebih utama dari seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadarnya. Pada malam ini Allah akan memberikan banyak sekali kebaikan pada manusia yang mau beribadah dan memohon kepada-Nya.”

Semoga kehilangan-kehilangan besar ini, yang belum tentu kita gapai kembali tahun depan, tidak menyusutkan semangat dan ikhtiar kita dalam memperjuangkan menggapai impian mulia, yakni meraih esensi makna “Hari Kemenangan” sebagaimana dijelasterangbenderangkan oleh Pak Kyai Didi Junaedi di atas. Semoga. Aamiin.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1445 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

 

Riyadh, 10 April 2024

Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi.

Pukul : 16.53 WAS

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama