Burung Merpati dan Daun Zaitun sebagai Lambang Perdamaian
Dokumen : Wikipedia
Berdamai
Oleh
Mustajib
TIGA hari lalu, Sabtu, 8 April 204, saya menerima
kiriman vidio (reels) dari Kakanda (Kak Tuan) Bapak Tuan Guru Haji (TGH) Drs.
Sakur, M.Pd.I, asal Montong Lisung, Praya Timur, Lombok Tengah, Nusa Tenggara
Barat (NTB), yang kini antara lain sebagai seorang Imam, Khatib dan Mubaligh di
Kota Salatiga, dan insha Allah dalam waktu dekat akan meluncurkan buku solonya Penyuluh
Cinta dan Penyuluh Rindu. Vidio yang sarat nilai-nilai perdamaian tersebut
berjudul (tentang) “Surat Terbuka untuk Nahdlatul Ulama”, berisi “Catatan
Ramadhan” dari Mas Nurbani Yusuf, seorang cendekiawan Muhammadiyah.
Saya pribadi menilai isi vidio tersebut penuh dengan
hikmah dan sarat dengan nilai-nilai perdamaian, setidaknya jika kita bersetuju
dengan pengertian perdamaian secara umum sebagai suatu keadaan yang harmonis
dan tanpa permusuhan (Wikipedia, lihat id.m.wikipedia.org, diakses Selasa,
9/4/2024, pukul 14.27 Waktu Arab Saudi/WAS). Suasana harmonis dan tanpa
permusuhan itu antara lain ditandai dengan absennya hujat-menghujat dan/atau
hadirnya apresiasi yang objektif dan proposional tanpa mengilangkan jari diri.
Dalam vidio yang dinarasikan oleh pengasuh Haura Radio
tersebut, Mas Nurbani Yusuf memberi ucapan terima kepada Nahdlatul Ulama (NU)
yang telah menebar hikmah melalui masjid-masjid NU-nya. “Mengambil hikmah bisa
dari manapun. Betapa sepinya Ramadhan tanpa masjid NU”, demikian Mas Nurbani
Yusuf, mengawali surat terbukanya. Baginya,
di tengah-tengah wajah Islam yang pekat dari negeri asalnya, masjid NU telah (tampil)
menjadi episentrum (berbagai) aktivitas menjelang, dan termasuk selama, ramadhan yang humanis dan
memenuhi kebutuhan spiritual.
Mas Nurbani Yusuf menilai bahwa Rajab dan Sa’ban (sya’ban)
adalah prolog (bagi NU) untuk menyambut Ramadhan yang eksotik. Penilaian
tersebut mungkin karena di bulan Rajab dan Sya’ban, ada sejumlah spiritual
events yang khas NU. Di bulan Rajab, msalnya, “warga NU dianjurkan untuk
banyak melakukan puasa Rajab mengingat bulan Rajab adalah salah satu bulan
mulia, yang kadarullah, banyak membingkai peristiwa-peristiwa penting, yang
diantaranya Sayyidah Aminah binti Wahab mulai mengandung janin yang kelak
diberi nama “Muhammad”, yang notabene Baginda Nabi Besar Muhammad shallallahu
‘alaihi wa salam.
Juga terjadi di bulan Rajab peristiwa-peristiwa lain seperti
peristiwa Isra’ Mi’raj (27 Rajab), wafatnya Imam Syafi’i (pada Rajab tahun 204
H), dan pembebasan Baitul Maqdis, Paletina, (27 Rajab 583 H) oleh Sultan
Shalahuddin Al-Ayyubi, dimana Al-Ayyubi tidak langsung menyiapkan tentara dan
peralatan perang melainkan mendahulukan mempersatukan umat Islam dalam satu
ikatan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (lihat “Kemuliaan Bulan Rajab dan
Peristiwa-Peristiwa Penting di Dalamya”, dalam iainutuban.ac.id, diakses
Selasa, 9 April 2024, pukul 15.06 WAS).
Di bulan Sya’ban, de facto, jamaah NU juga dihimbau
untuk lebih memperbanyak amalan sunnah semisal mengintensifkan membaca (tadarus)
Al-Qur’an dan memperbanyak sedekah. Oleh kalangan NU, bulan Sya’ban dinilai
sebagai bulan pemansan dan pengantar menuju bulan Ramadhan (lihat “Amalan
Salafus Saleh di Bulan Sya’ban: Tadarus Al-Qur’sn dan Besedekah”, dalam nu.or.id,
diakses Selasa, 9 April 2024, pukul 15.22 WAS).
Selama bulan Ramadhan, masjid-masjid NU dinilai kreatif
dan inovatif menyelenggarakan aktivitas-aktivitas spesial untuk membangun
atmosfir ramadhan kian eksotik. Ada tadarusan bersahut-sahutan, sholawatan,
diba’an, khataman al-Qur’an, nyadran, megangan, malam selikuran,
malam songo, mengingatkan niat puasa esok hari, membangkunkan warga di waktu
sahur, tarhim 5 menit sebelum adzan berkumandang dan lain sebainya. “Pada bulan Ramadhan, jujur saja saya akui
bahwa masjid-masjid NU yang paling semarak dan makmur,” ungkap Mas Nurbani
Yusuf.
Bagi saya pribadi, sikap dan penilaian Mas Nurbani
Yusuf sangat bijak dan sarat dengan nilai-nilai perdamaian. Setidaknya, Beliau
tidak ikut-ikutan menilai kegiatan-kegiatan di atas sebagai bid’ah sebagaimana
penillaian yang diberikan oleh berbagai kalangan lainnya. Sungguh, Beliau sudah
menghadrikan keharmonisan dan menghindari permusuhan dengan lontaran klaim-klaim
yang menbid’ahkan.
Apakah sikap saling menghormati, tidak ‘fanatik’ serta penuh persahabatan dan perdamaian ini sudah membias, berdampak atau bertumbuhkembang di warga masyarakat, terutama di lapisan bawah? Dengan berpikiran positif (khusnuzon) saya berpendapat “sudah’, setidaknya dengan merujuk komunikasi saya dengan seorang keponaan tiga hari lalu.
Setelah saya membagikan tulisan saya, berdasarkan pengalaman sendiri, tentang perbedaan
pelaksanaan sholat tarawih plus witir di kampung halaman (bersamanya) yang
akrab dengan 23 rekaat (yang mungkin jamak diidentikkan dengan ‘NU”) dan di
lingkungan baru (sementara) yang 11 rekaat, yang oleh orang-orang awam di
kampung saya dikait-kaitkan dengan model tarawih dan witir ala warga ‘Muhammadiyah’,
keponaan saya itu mengatakan, “saya juga di kantor kadang-kadang menggunakan
yang 11 rekaat”. Ternyata keponaan yang sudah terbiasa dengan tradisi 23
rekaat sejak kecil ‘tidak fanatik” harus tetap 23 rekaat. Pilihannya sudah "berdamai" sesuai
dengan kebutuhan kontekstual yang akomodatif dan dinamis.
Berbicara tentang “fanatime” dalam tradisi sholat
tarawih dan witir ini, saya ingat sikap seorang teman dari Lombok juga sewaktu
masih kuliah di Singaraja, Bali, tahun 1990-an lalu. Teman saya itu agak “ogah’
(malas) sholat tarawih (puls witir) di Masjid Pusdiklat Kepolisian RI. Alasannya,
karena di masjid yang berlokasi di wilayah Pantai Banyuasri, Singaraja, Bali, tersebut
sholat tarawih plus witirnya 11 rekaat, kurang sereg karena tidak sesuai dengan
kebiasaan atau tradisinya yang 23 rekaat. Akhirnya, yang bersangkutan memilih melaksanakan
sholat tarawih di Masjid Jami’, di pusat kota, walau cukup jauh dari kontrakan (kosan).
Kini, teman saya itu sudah menjadi tokoh masyarakat di kotanya
pada umumnya dan di lingkungan tempat tinggalnya pada khususnya. Beliau sudah
bergaul dengan berbagai kalangan masyarakat, termasuk pemeluk teguh NU dan
Muhammadiyah. Apakah Beliau masih “fanatik” dalam menjalankan tradisi-tradisi
aktivitas spiritual khas Ramadhan seperti, misalnya, sholat tarawih dan witir? Apakah
sudah “berdamai” dengan keadaan dan/atau sesuai kebutuhan kontektual? Wallahu’alam.
Hanya Beliau dan Yang Maha Mengetahui yang tahu. Atas sentilan (addressing)
ini, mohon maaf.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1445 H. Mohon Maaf
Lahir dan Batin.
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi.
Pukul : 17.20 WAS