Memang seperti inikah Fiqih?


                                                           Dokumen Pribadi
Memang seperti inikah Fiqih?
Oleh
Mustajib

 

Saat membaca salah satu tulisan dalam buku Germs and Jewels : Wise Sayings, Interesting Events & Moral Lessons from the Islamic History (Compiled by Abdul Malik Mujahid, 2004), saya tiba-tiba ingat bapak saya (Sukud bin Amaq Sudeni) yang telah berpulang ke rahmatullah tahun 2003 lalu. Dalam suatu kesempatan sebelum kami tidur di malam hari di sekitar penghujung tahun 1970an atau mungkin di paruh pertama tahun 1980an, saat saya masih bersekolah di sekolah dasar (SD), almarhum bapak “mempermaklumkan” kesimpulan induktifnya atas obervasi yang dilakukan. Kurang lebih seperti ini : “Setelah saya perhatikan,” kata bapak memulai, “ternyata semua makhluk yang berdaun telinga itu melahirkan. Yang tidak berdaun telinga bertelur untuk beranak,” papar Bapak.

Walaupun saya belum mendengar langsung guru SD saya menjelaskan dan menyimpulkan seperti itu, saya dapat mencerna dan/atau memahami simpulan yang disampaikan bapak saya itu. Hal itu karena saya dapat mengamati secara langsung dalam lingkungan kehidupan sehari-hari. Kerbau, sapi, kambing, termasuk manusia, beranak karena memang memiliki daun telinga. Sementara ayam, itik, burung, ular, tokek, cecak dan sebangsanya yang tidak memiliki daun telinga melahirkan generasi penerusnya (berkembang biak) melalui proses bertelur.

Namun di suatu kesempatan lain, lagi-lagi sebelum kami (saya, bapak dan ibu tiri saya) tidur malam, setelah sedikit berbicara tentang praktik-praktik beragama, almarhum bapak saya yang tidak pernah bersekolah, namun sedikit melek baca huruf latin dan huruf Arab, bahkan menjadi seorang penganut salah satu aliran tasawuf yang sangat menekankan pentingnya berzikir baik secara lahir (jahar) maupun batin (sir), sepertinya pernah berkata kurang lebih intinya seperti ini : “Dalam Fiqih, orang sering mencari-cari cara-cara atau dalil-dalil yang membolehkan sesuatu.” Saya hanya mendengar. Kali ini, saya tidak faham. Tidak mengerti dan tidak bisa mencernanya.

Saya baru bisa sedikit mengikuti “logika” bapak saya itu setelah beberapa kali mengulang-ulang membaca tulisan berjudul ‘Fiqh’ (Fiqih) dalam buku yang dikompilasi oleh Abdul Malik Mujahid di atas, halaman 4,  pada selang waktu  11 sampai dengan 13 Januari 2024 lalu. Ceritanya kurang lebih sebagai berikut (di-italic/cetak Miring).

Seorang suami menatap istrinya yang sedang menaiki tangga. Sang suami berkata, “Akan kuceraikan dirimu jika kau naik satu anak tangga, juga jika kau turun satu anak tangga, dan termasuk juga jika kau tetap berdiri di anak tangga tempat kau berdiri saat ini.” (Mendengar itu) Sang istri menjatuhkan dirinya melalui susuran (pagar) tangga dan akhirnya tetap bertahan sebagai istrinya.

Berdasarkan cerita tersebut, sepertinya bisa dtebak di bagian mana kira-kira kesan ‘dicari-cari’ itu muncul. Memang, seperti itukah fiqih? Wallahu bissawab.

 

Makkah, 13 Januari 2024

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama