Puputan (Inspirasi dari 'Ade Abene')

                                     Suasana Sedang Membaca Lontar (Memaos)

                                    Dok. YouTube Rajesile Dendeng : 5.36

Puputan

(Inspirasi dari 'Ade Abene')

Oleh

Mustajib


Almarhum amaq (bapak) saya, Sukud alias Amaq Serah, semasa hidupnya sangat ‘gemar’ menggunakan kata "puputan" dalam komunikasi atau bincang-bincang sehari-hari. Mungkin sebenarnya bukan karena kegemaran, melainkan karena spontaninitas atau unconscious use (penggunaan di bawah sadar). Karena “kegemaran” itulah maka frekuensi pemakaian kata “puputan” menjadi amat sangat tinggi.

Karena seringnya terpakai, dan karena tidak diketahui artinya, mungkin banyak lawan bicara atau pendengarnya merasa agak “jengkel”. Entah karena rasa jengkel, memang tidak tahu artinya, atau kombinasi keduanya (jengkel dan penasaran), pernah di suatu kesempatan, sambil agak cekikikan salah seorang saudara sepupu saya yang turut menjadi pendengar bertanya ke amaq saya, dalam bahasa Sasak, " Amaq Kake,  ape jek kenan 'puputan' iku?" Bahasa Indonesianya, 'Pak Lek, apa sih maksud kata 'puputan' itu?’

Amaq saya tidak bisa menjawab, juga tidak bisa menjelaskan. Konteks pemakaian kata ‘puputan’ dapat saya ilustrasikan sebagai berikut. Ketika membicarakan atau mendiskusikan sesuatu, di bagian akhir amaq saya akan nge-gong, "Puputan, bla bla bla blaa blaa..."

Merasa tidak ada kepentingan atau urgensi langsaung dengan kata itu, saya tidak pernah memikirkannya. Dan rasa ingin tahu saya tentang kosa kata itu pun tak berkembang, tak berlanjut, bahkan 'terlelap'. Waktu pun berlalu.

Saya teringat kembali kata itu setelah membaca tulisan Prof. Ngainun Nain berjudul "Soin, Sol dan Dek Abene", yang dimuat WhatsApp Group (WAG) Rumah Virus Literasi (RVL), pada Jum’at, 5 April 2024. Di bagian akhir tulisannya, Pak Prof. Naginun Naim menyinggung tentang kosa kata “Dek Anabe”.

“Ini kosa kata khas. Pemiliknya adalah Mbah Muji, Ibuk kandungnya Bapak. Mbah Muji menggunakan kosa kata itu dalam makna ‘dahulu’,” tulis Prof. Ngainun Naim. “Entahlah, dari mana kosa kata itu berasal dan ke mana perginya karena sekarang sudah tidak ada lagi. Kini, kosa kata itu adalah gugusan memori untuk mengenang masa lalu,” imbuhnya.

Nah, histori penggunaan kata 'Dek Abene' dengan makna 'dulunya' yang kini sudah menjadi gugusan memori untuk mengenang masa lampau itulah yang mengaktifkan kembali memori saya yang sudah lama lelap-terpendam terkait (kosa) kata 'puputan’. Sampai akhir hayatnya, amaq saya belum sempat menjelaskan makna kata itu.

Sesungguhnya kosa kata itu pernah saya dengar, pertama kali ketika menjadi siswa sekolah dasar (SD). Dan kosa kata itu makin sering saya dengar terlebih-lebih setelah saya tinggal di Singaraja, Bali, selama 14 tahun (1988 - 2002). Sepertinya, kata itu berasal dari salah satu kosa kata bahasa Bali.

Masih segar dalam ingatan saya, ketika di SD saya mendapat pelajaran sejarah tentang "perang-perang nasional" semasa penjajahan. Di Bali, terjadi perang yang disebut perang "Puputan Margarana" yang menyebabkan gugurnya Letkol I Gusti Ngurah Rai (kini menjadi salah seorang Pahlawan Nasional asal Bali).

Secara sederhana, perang puputan dimaknai sebagai berperang sampai pada titik darah penghabisan (lihat “Puputan Margarana : Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Dampak” dalam link regional.compas.com, diakses Sabtu, 6 April 2024, pukul 13.08 Waktu Arab Saudi).

Poin penting dari pemaknaan kata puputan adalah "penghabisan" atau dalam ungkapan bahasa Sasak "tutuk tolen", yang berarti “sudah penghabisan” atau “sudah terakhir”.

Berdasarkan konteks ini, puputan berarti penghabisan, penutup, terakhir. Berdasarkan makna ini, pemakian kata puputan oleh amaq saya menemukan tautan kontektuaknya.

Amaq saya selalu memggunakan kata "puputan" saat nge-gong akhir pembicaraan. Dapat saya simpulkan, mungkin berdasarkan cocokologi, puputan dalam benak atau pemahaman amaq saya artinya "simpulan" atau "sebagai kesimpulan". Dengan demikian , frase "Puputan, bolehlah dikatakan bla bla blaa ..." disetarakan dengan "Kesimpulannya, bolehlah dikatakan bla bla blaa ...".

Pertanyaan saya, dari mana kira-kira amaq saya mendapatkan kosa kata itu, sementara almaruhum belum pernah ke Bali (sebelum saya tinggal di Bali)? Perkiraan (hipotesis) saya, walaupun amaq saya belum pernah ke Bali, almarhum amaq saya mendapatkannya dari bahasa yang dipakai di dalam ‘takepan’ (cerita berbahasa sansekerta yang ditulis dalam daun lontar).

Saya tahu beberapa kali almarhum di-pesilak (diundang) untuk nembang (membaca lontar). Amaq saya, tidak hanya bisa memaos (nembang), tapi bisa juga sebagai penerjemah – orang yang menarasikan ulang cerita dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa yang dimengerti masyarakat kebanyakan alias bahasa sehari-hari. Apakah bahasa Bali dekat dengan bahasa Sansekerta? Saya tidak tahu persis. Yang saya tahu, bahasa Bali banyak memberi pengaruh terhadap bahasa Sasak, khususnya bahasa halusnya. Hal ini bisa dimaklumi karena Lombok, yang mayoritas didiami suku Sasak, secara historis pernah sangat lama di bawah kekuasaan Raja Karangasem, Bali.

Puputan, sebagai  kesimpulan (tentatif) dari saya, berdasarkan analisis insting rasa bahasa dan cocokologi alias dicocok-cocokkan, kosa kata ‘puputan’ yang sering dipakai amaq saya dulu itu berasal dari kosa kata Bahasa Bali, yang bermakna praktis “Kesimpulannya”.

Semoga rekan-rekan saya dari Bali dapat memberikan pencerahan yang lebih valid.


Makkah,  6 April 2024.

Hotel Makarim, Makah, Arab Saudi.

Pukul 13.58 Waktu Aarab Saudi

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama