Oleh
Mustajib
Sering kali menyeruak rasa “galau” dalam bentuk
pertanyaan di tempurung otak saya saat saya menulis. Pertanyaan adalah, “kenapa
saya tidak bisa menulis sesuatu tentang agama yang sudah saya peluk selama lebih
dari 50 tahun? Apa yang salah, what’s wrong with me?”
Pertanyaan tersebut sebenarnya pertanyaan retorik,
karena jawaban globalnya sudah ada, sudah saya tahu dengan mengacu pada apa
yang saya rasakan di dada. Yakni, bahwa saya tidak punya ilmu pengetahuan yang
memadai terkait hal agama. Apa yang disampaikan. What’s to say? Bukankan salah
satu prasyarat untuk bisa berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis adalah
‘having what to say’, punya sesuatu yang akan disampikan?
Kalaupun semisalnya ada yang terasa layak untuk saya
sampaikan dalam tulisan, terkait dengan agama itu, hal lain yang menyembul
adalah perasaan ‘berdosa (bersalah)’ karena saya belum mengerjakan hal itu.
Bukankah Allah azza wajallah telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman,
mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Sangat besar)
kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa yang kalian tidak kerjakan ”
(QS ass-shaf : 2 – 3).
Saya memahami, bahwa esensi ayat 2-3 dari surat ke-61
dalam Kitab Suci itu adalah hanya ngomong doang. Hanya menceramahi orang
lain saja, sedangkan dirinya sendiri tidak ‘mampu diceramahi’, atau paling
tidak dicerahkan dulu dengan paralelitas perkataan dan perbuatan. Jika ‘suara
hati’ ini – bahwa dosa besar menceramahi orang lain untuk melaksanakan sesuatu
sementara dirinya tidak mengamalkannya – dilanggar, maka akan terkena pribahasa
“sudah jatuh, tertimpa tangga lagi”.
Artinya, sudah tidak punya ilmu (yang memadai) -- yang
sesemestinya tidak perlu terjadi pada orang yang (mampu) berpikir, setidaknya
pernah mengenyam pendidikan, malah melanggar larangan lainnya lagi. Sungguh sebuah
perbuatan yang kurang bijak jika dilakukan.
Wallahu, di tahun 2019 lalu, berkali-kali muncul pertanyaan
dalam benak, “apa bentuk pertanggungjawaban saya di hadapan Allah azza wajalla
kelak di yaumil hisab tentang tidak adanya atau kurangnya ikhtiar secara
sungguh-sungguh untuk mendalami agama sementara sudah diberikan secuil
kemampuan untuk berpikir?”
Karena dorongan pertanyaan itu yang begitu kuat, akhirnya,
dengan niat bismillah, atas ajakan dan bantuan seorang senior, saya daftar S3 PAI
UIN Mataram, tanpa modal finansial selain untuk bayar pendaftaran. Waktu itu,
senior saya itu menginformasikan kepada saya bahwa masalah pembayaran bisa
belakangan. Yang penting, selambat-lambatnya sebelum ujian terbuka, semua
kewajiban harus diselesaikan.
Bisa jadi, kebijakan lembaga sebelumnya seperti itu –
karena masih baru dibuka. Namun setelah saya masuk, kebijakan berubah. Semua
harus jelas dan ‘clear’. Untuk bisa mengikuti semester dua, semua
kewajiban di semester satu harus tuntas, termasuh juga SPP Semester berikutnya
(kedua) juga harus dilunasi. Dengan
pelunasan itu, barulah nilai-nilai mata kuliah di semester satu bisa diperoleh.
Klirnya urusan nilai-nilai inilah sebagai salah satu persyaratan lainnya untuk
mengikuti perkuliahan di semester dua. Kadarullah, saya tidak bisa mengikuti lebih
lanjut.
Benar, bahwa
untuk mendalami sesuatu, termasuk ilmu agama itu, tidak mesti harus dengan
kuliah. Atau, tidak selalu kita belajar secara formal. Kita bisa memperdalam
ilmu agama secara mandiri, tanpa kuliah, atau tanpa belajar secara formal.
Setidaknya, untuk mendapatkan pendalaman itu, kita bisa mengikuti pengajian-pengajian
di berbagai majlis taklim, di dunia nyata dan/atau dunia maya.
Nah, itulah
problam serius dari seorang hamba Allah seperti saya ini. Tidak bisa menekuninya
tanpa ada ikatan formalnya. Bahasa sederhannya, saya tidak bisa “memaksa diri”
untuk menyeriusinya tanpa ada ikatan formal yang bersifat “memaksa”. Terkait
dengan ikhtiar memperdalam agama dengan mengikuti kuliah PAI di S3 itu, selain
selama proses belajara atau menyelesaiakan studi, setelah menyelesaikan studi
pasti akan berdampak. Jika selama studi belum mendapatkan ilmu pengetahuan yang
memadai, pasti setelah lulus, setelah mendapatkan dan menyandang gelar “Doktor
dalam bidang PAI”, pasti ada rasa “Ah, moso’ seorang doktor tidak bisa
atau tidak tahu tetang “hal” ini?”. Nah, pertanyaan seperti itulah yang saya
anggap sebagai “pemaksa” untuk terus serius belajar.
Sekali lagi,
kadarullah, ikhitiar formal itu terhenti. Pernah saya mau menyambungnya lagi (studi
saya di S3 PAI itu) ketika ‘rasa-rasanya” kebutuhan finansial minimal sudah dapat
saya ikhtiarkan. Hanya saja, ketika kesempatan itu datang, kebijakan sudah
berubah lagi seiring dengan sudah berlalunya Covid-19. Perkuliahan
tidak ada yang “online (dalam jaringan)”. Harus luring (luar jaringan)
alias offline”. Ini yang belum memungkinkan. Kini, dalam hati saya sudah
afirmasi “Setidaknya sudah ada ikhtiar lagi. Khaqul yakin, Allah azza wajalla
mengetahui ikhtiar ini”.
Alhamdulilah, dalam lima bulan terakhir ini Allah azza
wajalla mengaruniai saya untuk bisa ‘menambah’ ilmu pengetahuan agama sedikit
demi sedikit dengan cara bergabung di grup-grup WhatsApp (WAG) literasi.
Alhamdulillah, saya bisa ikut bergabung di WAG “Sahabat Pena Kita” (SPK) dan
dan di WAG “Rumah Virus Literasi” (RVL). Alhamdulillah, melalui grup-grup literasi
ini saya bisa membaca secara rutin tulisan-tulisan keagamaan (Islam) dari para anggota
grup, yang notabene praktisi-praktisi yang mumpuni.
Barakallah. Alhamdulillah yaa robb atas jalan
yang telah Engkau telah berikan. Dan kepada bapak-ibu atau saudara/I penulis, secara
‘formal’ atau terbuka saya mohon izin untuk diakui sebagai “santriwan” Bapak
dan Ibu agar ilmu yang saya peroleh menjadi barokah. Jazakumullahu khairan
katsira.
Semoga di suatu saat saya bisa juga menulis tentang
agama untuk mengamalkan (tabliq) ilmu pengetahuan dari Bapak Ibu
sekalian. Juga untuk menyempurnakan respon personal atas wahyu Ilahi Pertama “iqra’”
: Membaca dan Menyediakan Sumber Bacaan, walau sesederhana apapun, sesuai kadar
kemampuan. Semoga.
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Sadi.
Pukul 14.25 Waktu Arab Saudi