Oleh
Mustajib
Membaca tulisan-tulisan Dr. Nurcholish Madjid yang
terhimpun dalam buku Pintu-Pintu Menuju Tuhan, yang diterbitkan oleh
Penerbit Paramadina, bertiti mangsa 1995 lalu ternyata mengasyikkan bagi saya
pribadi. Disamping bahasanya renyah, isinya juga gurih-bergizi dan ‘legit”
(manis). Sangat nikmat kita “kunyah-kunyah” sembari menunggu waktu berbuka
puasa, di bulan Ramadhan tahun 1445 Hijriah ini.
Tidak terlalu mengherankan jika bahasa tulisan-tulisan tersebut
mudah dicerna dan isi-isinya sangat mencerahkan mengingat secara historis sebagian
besar artikel tersebut pernah muncul di kolom “Pelita Hati” yang dimuat pada
harian Pelita antara tahun 1989 -1991 dan sebagaiannya lagpada majalah Tempo,
dengan jargon yang terkenal (kalau tidak salah) “Enak Dibaca, dan Perlu”.
Dari sekitar 119 artikel dan 18 diantaranya yang sudah saya
baca, artikel yang cukup menarik perhatian saya adalah tulisan dengan judul “Kecenderungan
Syirik Manusia” (hal. 36 – 37). Salah satu poin penting dalam artikel tersebut adalah
bahwa pemujaan (devotion) terhadap pemimpin juga terjadi di kalangan
atheis.
Nurcholish Madjib mencatat bahwa menajdi pemandangan
sehari-hari di lapangan Merah Moskow, (dulu) Uni Ssoviet, orang-orang antre
untuk berziarah ke mousoleum Lenin, dengan sikap yang jelas-=jelas bersifat “devotional”
seakan-akan meminta barakah kepada jasad pemimpinnya yang terbaring di balik
kaca tebal. Orang-orang tersebut sebagaimana dimafhum adalah orang-orang
komunis yang tidak mengakui adanya Tuhan (atheis).
Berdasarkan fenomena di atas, dan fenomen-fenomena
sejenis lainnya semisal pemujaan terhadap Stalin dan Mao Ze Dong di RRC, almarhum
Nucholish Madjid menyimpulkan bahwa orang-orang komunis itu tidak berhasil
menjadi benar-benar atheis. Kalau atheis “dimaknai sebagai” tidak memeluk agama
formal yang ada seperti Yahudi, Kristen, Islam, Budhism, Konfusianisme dan lain-lain
maka barangkali memang benar orang-orang komunis itu atheis. Tapi kalau atheis
berarti bebas dari setiap bentuk pemujaan, maka orang-orang komunis adalah
kelompok manusia pemuja yang paling fanatik dan tidak rasional.
Cendekiawan Muslim yang akrab disapa Cak Nur tersebut
mempertegas bahwa orang-orang komunis itu memang tidak akan mengakui bahwa
mereka memandang para pemimpin mereka sebagai “tuhan-tuhan”. Tapi sikap mereka
jelas menunjukkan hal itu. “Mereka sebenarnya terjerembab ke dalam lembah
politheisme yang justru sangat membelenggu dan merampas kebebasan mereka,” tegas
Cak Nur.
Hadirnya benih-benih keberagamaan dalam hati setiap
makhluk bernama manusia sudah jamak dijumpai dalam narasi-narasi humaniora. Calvyn
– sebagaimana dikutip Kaloka Ardi dalam tulisannya yang berjudul “Sastra
sebagai Agama Mikro” (Bali Post, 12/2/1999 : 5),-- mengatakan bahwa pada diri
manusia terdapat kesadaran religius yang dalam perkembangan selanjutnya
berperan sebagai semein religionis atau benaih-benih agama.
Di kalangan umat Islam, hadirnya benih-benih keberagamaan
dan/atau benih-benih kepercayaan kepada Tuhan sudah ada sejak manusia berada
dalam kandungan, sebagaimana terbaca melaui Al Qur’an Surat Al-Hadid ayat 8
yang artinya, “Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul
mengajak kamu beriman kepada Tuhanmu? Dan Dia telah mengambil janji(setia)mu,
jika kamu orang-orang mukmin”.
Isi perjanjiannya sebagaimana jelas terbaca melalui surat
Al-A’raf ayat 172, berbunyi, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari
sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengmbil
kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’
Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika
itu kami lengah terhadap ini’.”
Hikmah membaca tulisan Cak Nur tersebut dan/atau
mengetahui fenomena-fenomena seperti yang diutarakan di atas adalah, dengan
cara-cara atau melalui ‘pintu-pintu’ tertentu, kita – khususnya saya pribadi, dapat
makin mengutakan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan objek yang
berbeda, jika yang atheis percaya pada “tuhan-tuhan” (dengan ‘t’ kecil), moso’
kita yang sejak lahir sudah di-Islam-kan tidak percaya sepenuhnya, secara
sungguh-sungguh (fanatik), dan secara sadar (rasional) kepada Tuhan Yang Maha
Esa?
Diplomatic Quarter (DQ), Riyadh, Arab Saudi
Pukul 09.56 Waktu Arab Saudi
Keren ulasannya Pak.Mustajib
BalasHapusMatur nuwun kunjungan dan apresiasinya, Cak Inin. Salam sehat, sukses selalu
BalasHapus