Oleh
Mustajib
KEHADIRAN pewaris merupakan suatu kesyukuran
tersendiri bagi seseorang yang akan mewariskan sesuatu, walau yang akan
diwariskan itu tidak berupa uang, tanah, emas, ternak dan lain sebagainya.
Itulah yang saya rasakan : bersyukur dan sangat
berbahagia dengan "kedatangan" dua (orang) pewaris. Sekali lagi, yang
akan saya wariskan bukan benda-benda berharga serupa intan, permata, emas,
uang, deposito, tanah, ternak, perusahan dan lain sebagainya.
Yang saya wariskan adalah ilmu dan/atau keterampilan
berliterasi, khususnya menulis. Warisan ini semoga sesuai dengan petuah warisan
dari Ali Bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib r.a. Sahabat sekaligus sepupu dan menantu
Nabi Besar Muhammad SAW ini berkata, “Ilmu
itu adalah sebaik-baik warisan”.
Kedua pewaris yang saya maksudkan di atas adalah putra
semata wayang, Muhammad Sukri Rizky Ramadhan dan putri ketiga, Witry Naylufar.
Keduanya telah hadir sebagai pewaris literasi saya.
Saya bukan penulis besar. Bukan penulis handal. Bukan
penulis produktif. Penulis yang biasa-biasa saja. Buku solo maupun antologi
memang ada, namun kuantitasnya tidak sebanding dengan usia yang telah saya
lewati dan nikmati. Apakah nantinya buku-buku yang saya hasilkan akan
bertambah? Tidak berani saya pastikan karena kemampuan yang terbatas.
Satu-satunya yang berani saya pastikan tentang diri
saya sendiri adalah saya memiliki semangat berliterasi – walau secuil -- dan
menginginkan semangat itu diwarisi oleh anak keturunan saya. Minimal oleh satu
atau dua orang diantara empat putra-putri saya.
Dari kedua pewaris literasi di atas (Rizky dan
Naylu, demikian sapaan akrabnya), saya akan fokus pada pewaris yang lebih muda
terlebih dahulu : Rizky.
Kini Rizky sedang duduk di kelas 1 sekolah menangah
pertama (SMP). Beberapa waktu lalu, dalam kegiatan berliterasi – menulis cerita,
guru Bahasa Indonesia memberi komentar, “Tulisanmu sudah bagus, tapi perlu
disederhanakan”.
Semangat – untuk tidak menyebut bakatnya – untuk menulis
terlihat saat kelas 2 sekolah dasar (SD). Tanggal 31 Desember 2018 lalu, ia
menitipkan tulisan singkatnya untuk saya publikasikan di facebook (fb).
Untuk tidak mengecewakannya, saya memuat tulisannya. Ternyata cukup lumayan yang
komen, dengan “nada dasar” bahwa Rizky punya potensi untuk menjadi “penulis”.
Berikut tulisan yang dititip tersebut.
Ketika membaca komen-komen tersebut dan lalu membaca kembali tulisan tersebut secara agak lebih seksama, sempat terbersit pertanyaan
retoris dalam hati, “Benarkah itu tulisannya sendiri”. Namun penggunaan tanda baca
yang masih berantakan, kealpaan menggunakan huruf besar pada kata-kata
yang semestinya menggunakannya dan pemenggalan-pemenggalan bagian-bagian kalimat
tertentu yang masih kacau meyakinkan saya untuk sementara waktu bahwa itu
adalah hasil tulisannya.
Keraguan atas kemampuannya menulis itu secara
signifikan sirnya ketika ia mendapat nilai 100 dalam ulangan mengarang Bahasa Indonesia
(lihat https://www.mustajib.com/2024/03/haramkah-nilai-100-di-ulangan-mengarang.html).
Merasa tidak percaya dengan hasil tersebut, saya coba membaca karangannya. Memang
ada imajinasi-imajinasi “liar” yang menghentak. Untuk menghilangkan kesan
subyektifitas, dipersilahkan pembaca membaca karangan hasil ulangan tersebut.
Keraguan itu seakan terkikis habis ketika membaca tulisan
lainnya yang berjudul “Piagam Pada Salah Satu Pahlawan Sekolah”. Tulisan ini
termuat dalam antologi “My Teacher My Hero”, kumpulan 85 tulisan siswa-siswi
Sekolah Indonesia Riyadh (SIR) jenjang SD, SMP dan sekolah menengah atas (SMA),
yang diterbitkan oleh Penerbit Haura Utama, bulan Juni 2024 lalu.
Selengkapnya, tulisan yang termuat dari halaman 32
sampai dengan 34 tersebut adalah sebagai berikut.