“Di” yang Tak Selesai-selesai!

“Di” yang Tak Selesai-selesai!
Oleh
Mustajib

Salah Satu Bagian Halaman Buku yang Dirujuk

Hingga kini, permasalahan penggunaan ‘di’ sebagai kata depan (preposisi) dan sebagai imbuhan (prefiks) nampaknya belum selesai alias tidak kelar-kelar, belum tuntas. Warning (peringatan) dan bimbingan dari para ahli bahasa Indonesia di masa silam sampai yang terbaru belum diindahkan secara seksama oleh seluruh lapisan masyarakat pemakai Bahasa Indonesia.

Kamis 5 Desember 2024 lalu, saat saya berbelanja di sebuah toko kelontong super besar di Bertais, Sweta-Lombok, Nusa Tenggara Barat, saya melihat sebuah peringatan yang ditulis di pintu mobil tangki pengangkut minyak kelapa. Tertulis “Di Larang Menaikkan Penumpang”. Keesokan harinya, siang hari, saat saya melintas di sekitar Mataram Mall yang lama, di pintu sebuah mobil pick-up, ada tulisan  “Semakin Didepan” (Perhatikan kata-kata yang dicetak tebal, juga pada contoh-contoh yang disebutkan berikut).

Pada Sabtu, 7 Desember 2024, buku pesanan saya akhirnya sampai di rumah. Saya memesan sebuah buku ‘ringkasan beriklan secara online’. Buku ini di-endorse (dan bahkan diiklankan) oleh seorang figur yang sangat sukses dalam dunia pemasaran dan kewirausahaan di Indonesia. Anehnya, dalam buku ini, kesalahan penggunaan (penulisan) “di” hampir terlihat di tiap-tiap halaman.

Misalnya, pada bagian ‘Kata Pengantar’ (halaman 3 paragraf pertama) tertulis : “… kami mengucapkan terima kasih kepada pembeli dan pembaca karena kami menerima feedback yang sangat baik dimana bukunya cukup mendasar sehingga mudah di pahami dan di praktekan untuk para pembaca.” Pada paragraf keduanya, tertulis : “… kemungkinan mereka melakukan atau mempraktekan ilmunya itu menjadi lebih kecil di bandingkan mereka yang belum pernah dengar. Hal ini di dasari oleh rasa penasaran ….”.

Adakah yang terganggu dengan fenomena ini? Pasti ada, paling tidak adalah orang-orang yang menaruh perhatian terhadap – dan bahkan terobsesi dengan -- pemakaian Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun yang lebih penting menurut saya adalah, ‘kebingungan’ yang dialami oleh para penutur bahasa asing yang mempelajari Bahasa Indonesia: mana yang benar? Atau kedua-duanya benar mengingat – kalua tidak salah – salah satu teori Bahasa mengatakan bahwa bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai (sehari-hari) oleh penutur aslinya, bukan yang diasumsikan oleh ahli bahasanya?

Kebingunan itu mungkin akan makin intens jika dalam suatu konteks muncul yang benar dan juga yang salah sekaligus. Masih di buku yang sama (maaf, saya tidak sebut judul, penulis, penerbit dan tahun terbitnya), di halaman 54, misalnya, tertulis : “… barang yang di jual hanyalah sebuah pakaian bekas …. Ya itu adalah baju bekas Cristiano Ronaldo yang di lelang oleh Martinus … yang di angkat anak oleh Ronaldo. Lalu ada … permen karet bekas, dihargai hingga 7.3M.” (Pemakaian ‘di’ yang benar dicetak bergaris miring).

Dalam buku yang dirujuk ini, tidak semua ‘di’ disalahpakaikan. ‘Ke-engah-an’ (kesadaran) itu, misalnya, terlihat pada halaman 9. Pada paragraf pertama tertulis “Banyak pandangan yang menilai kalau promosi secara secara online itu cukup mudah, cukup posting status di Facebook, whatsapp status, IG Story, atau Instagram …”. Namun, lagi-lagi, kebingungan segera menghampiri setelah membaca paragraf kedua : “Atau yang terbaru seperti, udah buka toko aja di marketplace, nanti orang-orang beli disana langsung”.

Melalui buku Pelik-pelik Bahasa Indonesia (cetakan ke-42 tahun 2021, sementara cetakan pertama 30 sebelumnya, lihat https://kenandari.blogspot.com/2008/11/apresiasi-buku-pelik-pelik-bahasa.html, diakses Minggu, 8 Desember 2024, pukul 19.38 Wita), uraian J.S. Badudu dapat disederhanakan sebagai berikut. Sebagai preposisi, ‘Di’ atau ‘di’ ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya, dan yang demikian itu ‘di’ menunjukkan tempat, seperti “di Facebook” dan “di marketplace”. Dengan kaidah atau aturan ini, penulisan ‘disana’ tidak tepat. Seharusnya “di sana”. Demikian juga “Didepan”, seharusnya “di depan”.

Dengan kaidah tersebut juga, penulisan kata-kata seperti “Di Larang”, “di pahami”, “di praktekan”, “di bandingkan”,di dasari”, “di jual”,  “di lelang” dan “di angkat” tidak tepat karena kombinasi kata-kata tersebut tidak menyatakan tempat, melainkan menyatakan ‘pekerjaan’, ‘tindakan’, atau ‘aksi’. Kombinasi ini menunjukkan “kata kerja yang dipasifkan” (ciri khas predikat kalimat pasif). Untuk hal semacam ini, ketentuannya adalah ‘di’ (sebagai imbuhan, awalan/prefix) disambung dengan kata kerja yang mengikutinya : ‘Di Larang’ menjadi (=>) ‘Dilarang’;  ‘di pahami’ => ‘dipahami’; ‘di praktekan’ => dipraktekan’; ‘di bandingkan’ => ‘dibandingkan’;di dasari’ => didasari’; ‘di jual’ => ‘dijual’; di lelang’ => dilelang’ dan “di angkat” => “diangkat”. Penulisandihargai” sudah benar.

Apakah kekacauan dalam penggunaan atau penulisan ‘di’ di atas menunjukkan (sebagaian dari) kekacauan hidup kita sebagai warga negara Indonesia sekarang ini? Wallahu’alam. Yang jelas, seperti ditulis oleh Ken Andari, J.S. Badudu pernah bilang “kekacauan berbahasa Indonesia mencerminkan kekacauan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini”.

Wallahu’alam bishawab.

Kuranji Dalang, 8 Desember 2024

Salam Literasi @mustajib.com

Mustajib

Simple man. Having 4 children from 1 wife. Civil Servant.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama